BELAJAR NAHWU ATAU PERCAKAPAN DULU?

 
Bismillah. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.
 
Belajar bahasa arab bisa dimulai dari nahwu atau percakapan dulu, tergantung kebutuhan. Jika seseorang ingin pintar baca kitab arab gundul maka belajarlah nahwu terlebih dahulu, namun jika ingin pintar berbicara arab, belajar percakapan lebih dahulu. 
 
Lalu bagaimana jika ada yang mengatakan belajar bahasa arab harus dimulai dari nahwu dulu, sedangkan pada sisi lain banyak juga yang mengatakan belajar bahasa arab harus dimulai dari percakapan dulu?

Orang yang mengatakan dimulai dari belajar nahwu dulu biasanya terpengaruh dengan guru-gurunya, karena saat pertama kali mereka belajar bahasa arab, gurunya mengajarkan ilmu nahwu.

Demikian juga orang yang mengatakan dimulai dari percakapan dulu, juga terpengaruh dengan guru-gurunya, karena dulu pertama kali dia belajar bahasa arab, gurunya mengajarkan ilmu percakapan.

Terlepas mana yang lebih dulu untuk dipelajari, yang jelas keduanya sangat penting. Orang yang mau belajar nahwu lebih dulu sah-sah saja, selama dia bisa serius dan bertahan selama proses pembelajaran. Demikian juga orang yang mau belajar percakapan dulu juga sah-sah saja, selama dia konsisten mempelajari kitabnya sampai tamat. Yang bermasalah adalah yang belajar bahasa arab tapi selalu putus ditengah jalan. Misalnya belajar nahwu, putus ditengah jalan, belajar percakapan putus ditengah jalan, akhirnya ia-pun tidak mendapatkan apa-apa, bahkan ia telah tertinggal jauh dari teman-temannya yang konsisten belajar sampai selesai.

Sebagai contoh, kata orang belajar nahwu itu sulit, sebenarnya belajar nahwu tidak sesulit yang di bayangkan, tergantung metode sang ustadz selama pembelajaran. Jika menggunakan metode yang mudah, maka belajar nahwu yang sulit-pun akan menjadi mudah dipahami, mudah diserap dan ujung-ujungnya menjadi pelajaran yang menyenangkan. Tapi jika menggunakan metode yang sulit dan berbeit-belit dalam belajar, para penuntut ilmu pasti kesulitan memahami pelajaran, demikian juga dalam mempelajari percakapan.

Jadi pembelajaran ilmu nahwu atau percakapan, semua membutuhkan metode. Metode yang pertama, kita lihat mad'unya atau pesertanya. Jika mereka para penuntut ilmu yang sudah tua, atau anak muda tapi sudah menikah dengan segudang kesibukan, bekerja sampai sore, ikut mengurus anak-anaknya, mengerjakan tugas kantor, yang intinya punya kesibukan yang banyak, maka tentu mereka tidak sama dengan para santri di pondok pesantren yang setiap saat siap tempur di medan menuntut ilmu dengan porsi apapun.

Karena demikian, ketika peserta belajarnya bukan santri dari pondok pesantren, maka target kita jangan jauh-jauh, cukup mereka tamat satu kitab saja sudah bernilai plus. Dengan adanya hal tersebut, diharapkan minat dan semangat belajar mereka kedepan akan semakin mantap, sehingga jika diberikan kitab-kitab yang lebih tinggi, mereka sudah siap bertempur sampai titik darah penghabisan.

Berbeda ketika kita memposisikan peserta belajar yang mental belajarnya lemah alias kurang semangat, bukan santri pondok, usianya sudah kepala 3, 4 atau 5 keatas. Maka mereka ini tepatnya diberi materi nahwu yang santai tapi serius. Berikan motivasi supaya semangat dalam menuntut ilmu, motivasi agar semakin semangat mempelajari bahasa arab, dll. Bahkan ketika mereka sudah mulai cinta dan serius mempelajari bahasa arab, diharapkan kedepan ia akan mempelajari kitab-kitab lain dari kitab-kitab para ulama.

Namun yang menjadi kendala dalam proses pembelajaran nahwu atau percakapan, kita memaksakan metode yang berat kepada penuntut ilmu pemula, mental menuntut ilmunya belum mantap, motivasi belajarnya hanya hanya ikut-ikutan, ketika kita memposisikan mereka seperti para penuntut ilmu di podok pesantren dengan porsi belajar yang padat, penuh dengan hafalan, tugas, PR, dan lain sebagainya, maka pembelajaran biasanya akan gagal. 

Katakan saja dalam sepekan ada 5x pertemuan, dalam satu pertemuan bisa sampai 7 sampai 8 halaman yang dipelajari, sudah begitu durasi waktunya sampai 6 jam, diberikan tugas menghafal mufrodat 8 halaman full dengan target harus disetor besok malam, ditambah lagi ada tugas menghafal ceramah Syaikh yang berbahasa arab dan harus di setorkan lusa ba'da maghrib, belum lagi belajarnya harus pake bahasa arab full di kelas sedangkan mental belajar mereka masih krupuk bukan yang mental baja, lalu kita terus paksa mereka dengan metode belajar seperti itu sebagaimana kita dahulu belajar di pondok pesantren padahal para penuntut ilmu ini belajarpun masih sedikit dipaksa, semangat belajar kadang muncul dan tenggelam, bahkan parahnya lebih banyak futurnya daripada semangatnya, dll, maka metode seperti diatas sangat kurang efektif untuk diterapkan kepada mereka yang mental belajarnya sangat lemah, bahkan metode belajar ini akan membuat mereka KO sebelum waktunya.

Karena itu, beri mereka jadwal belajar 1x sepekan saja tapi kontinyu untuk yang mental belajarnya lemah, jika yang mental belajarnya kuat bisa berikan porsi yang lebih banyak lagi. Berikan kitab-kitab yang ringkas tapi padat, jikapun harus menghafal pelajaran, suruh menghafal dikelas saja, karena pengalaman jika diberikan tugas hafalan yang banyak dan menumpuk di rumah, biasanya mereka jarang menghafalnya, apalagi jika ada kesepakatan push up, hal seperti ini menyebabkan penuntut ilmu yang punya mental krupuk akan lari dari majelis ilmu. Hari pertama pembelajaran biasanya peserta masih utuh, pekan kedua mulai berkurang, pekan ketiga semakin berkurang. Ada yang alasannya sibuk, ada yang alasan anaknya sakit, ada yang alasan banyak tugas di kantor, bahkan ada yang jujur mengatakan saya ga faham dengan pelajarannya pak ustadz. Sehingga menjadi sunnatullah dalam pembelajaran bahasa arab, kelas yang awalnya berjumlah 30 siswa atau 20 siswa, berkurang dan berkurang setiap harinya hingga tersisa 5 atau 6 atau bahkan 3 orang saja. Akhirnya sang guru-pun mulai melemah semangatnya, imma sang guru yang akan menyerah atau para murid yang akan mundur lebih dahulu.

Inilah fenomena belajar bahasa arab. Karena itu metode dalam membimbing para penuntut ilmu pemula yang lemah semangat belajarnya seperti ini membutuhkan motivasi dan kesabaran seorang da'i, para ustadz, para asatidzah, sehingga pembelajaran tetap berlangsung dan kontinyu hingga tamat kitab. Jika sang guru bersabar meskipun hanya 1 orang yang tersisa dari 50 siswa, bisa jadi satu orang yang bermental baja ini akan memberikan manfaat kepada kaum muslimin, menunjukkan manusia kepada hidayah irsyad wal bayan, hingga ia-pun menjadi washilah kebaikan bagi kaum muslimin. Bukankah para Nabi ada yang memiliki satu pengikut? Buhkankah ada seorang Nabi yang dibangkitkan tanpa seorang pengikut-pun. Ini menunjukkan bahwa kesuksesan dalam mendidik itu bukan dari banyaknya jumlah, tapi dari kualitasnya meskipun satu orang. Kedua, kesabaran dalam mendidik umat meskipun hanya 1 orang perlu dipupuk lagi, khususnya diakhir zaman ini, dimana kita seringnya lebih mencintai mengajar puluhan atau ratusan orang daripada hanya mengajar segelintir orang atau hanya satu orang, padahal bisa jadi 1 orang yang punya semangat tinggi tersebut bisa mengajak seribu orang atau jutaan orang diatas sunnah, menjadi singa Allah didalam dakwah, menjadi penolong agama Allah dan penerus perjuangna Islam. Ingat sobatku, 1 orang yang tersisa dari 50 siswa yang belajar, mungkin dialah singa sejati. Seorang penyair pernah mengatakan:

"Satu orang tapi singa, itu lebih baik dari pada 50 orang tapi domba. 
Karena seekor singa, ia punya mental tempur, sedangkan domba, tidak punya mental tempur."

Karena itu, hendaknya kita mendidik para penuntut ilmu dengan metode yang mudah, target yang ringan, dan motivasi-motivasi yang membakar semangatnya agar mereka lebih semangat lagi dalam menuntut ilmu. Jika hanya ada satu orang yang tersisa, ajarkan dia seolah mengajar 10 atau 20 orang sampai dia benar-benar bisa, semoga dia inilah yang akan menjadi ujung tombak didalam dakwah suatu hari nanti.

Mari semangat memberikan kebaikan untuk kaum muslimin, mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu, menyederhanakan target. Minimal mereka mau belajar agama itu sudah bilai plus, apalagi jika mereka ingin menambah jam belajarnya menjadi 2x atau 3x pertemuan dalam sepekan maka ini yang justru kita harapkan. 

Adapun disisi penuntut ilmu, hendaknya mereka meluruskan niat, meluangkan waktu untuk belajar, jangan manja, jangan cengeng dalam menuntut ilmu, mudah galau, mudah patah semangat, mudah lari meninggalkan majelis ilmu. Hormati teman seperjuangan didalam kelas, hormati kakak kelas demikian sebaliknya. Hormati guru-guru yang mengajarkan kalian ilmu, doakan kebaikan untuk mereka, untuk keluarganya, dll, karena itulah bentuk dan adab kepada para asatidzah dan kepada guru-guru kita yang telah berjuang mengajarkan kepada kita ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita, menjadi bahan renungan bagi kita, dan menjadi washilah tersebarnya kebaikan bagi kaum muslimin. Wallahu a'lam.

***

Dompu-Nusa Tenggara Barat : 9 Rojab 1443 H/11 Februari 2022
 
Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts:

0 Response to " BELAJAR NAHWU ATAU PERCAKAPAN DULU?"

Post a Comment