IKATLAH ILMU DENGAN TULISAN


Bismillah, alhamdulillahirabbil 'aalamiin, wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin, wa ba'du.

Menuntut ilmu bukan hanya sekedar menghadiri kajian tematik saja saudaraku, tapi juga kajian kitab. Para penuntut ilmu masing-masing hendaknya membawa kitab, mencoret-coret kitabnya dan mencatat apa yang perlu dicatat, mengharokatinya, memberikan tanda dan menggarisi kitabnya, jika ada kata yang belum dia fahami, dia akan tanyakan kepada ustadznya. Inilah gaya menuntut ilmu yang telah hilang auranya, berganti dengan gaya menuntut ilmu yang sifatnya hanya sekedar mendengar tanpa mencatat atau menulis. Kita bukan Imam Asy-Syafi'i yang kuat hafalannya, kita bukan pula Imam Ahmad yang rajin mengulang-ulang ilmu dengan menghafalnya, kita bukan pula Imam Al-Bukhari yang sanggup menghafal ribuan hadits dengan sandanya, akan tetapi kita hanya penuntut ilmu biasa, penuntut ilmu pemula, yang butuh pada mencatat ilmu. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahkan beliau mencatat ilmu yang ia dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara menulisnya, sedangkan kita? Mari kita renungkan!. Dalam sebuah hadits, Ibnu Umar pernah menceritakan :

كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه فنهتني قريش، وقالوا : أتكتب كل شيء تسمعه، رسول الله صلى الله عليه و سلم يتكلم في الرضا والغضب؟، فأمسكت عن الكتاب، فذكرت ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فأومأ بأصبعه إلى فيه وقال : ((اكتب، فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إلا حق))

"Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku ingin menghafalnya, akan tetapi kaum Qurais melarangku. Mereka mengatakan : 'Apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau dengar (meskipun) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berbicara dalam keadaan ridho dan marah? Maka aku menahan diri dari menulis, lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau mengisyaratkan dengan jarinya padanya (pada buku catatan Ibnu Umar) dan bersabda : ((Tulislah, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah yang keluar darinya kecuali kebenaran)). [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.300. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Pada hadits diatas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk menulis, beliau iringi ucapannya dengan sumpah, lalu menjelaskan bahwa tidaklah yang keluar darinya kecuali kebenaran. 

Dalam hadits yang lain : 

عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده قال : قلت يا رسول الله! أكتب كل ما أسمع منك؟ قال : ((نعم)). قلت : في الرضا والغضب؟  قال : ((نعم، فإني لا أقول في ذلك كله إلا حقا))

"Dari Amr bin Syu'aib, dari bapak-nya, dari kakeknya, ia mengatakan : Aku berkata : 'Wahai Rasulullah!' Apakah Aku menulis semua yang ku dengar darimu?' Beliau bersabda : ((Ya)). Aku berkata : 'Dalam hal ridho dan marah?' Beliau bersabda : ((Ya, karena sesungguhnya aku tidak berbicara dalam permasalahan itu semua kecuali kebenaran))." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.300. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Dalam hadits Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan :

لما فتحت مكة قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر الخطبة (خطبة النبي صلى الله عليه وسلم) قال : فقام رجل من اليمن يقال له : أبو شاه. فقال : يا رسول الله : اكتبوا لي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((اكتبوا لأبي شاه)) يعنى الخطبة

"Tatkala kota makkah ditaklukkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dan beliau menyebutkan sebuah khutbah (yaitu khutbah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), berkata Abu Hurairoh : Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah, ia berkata : "Wahai Rasulullah : Tulislah untuk-ku. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Tuliskanlah untuk Abu Syah)) yaitu khutbah tersebut." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.298. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Kisah tentang Abu Syah ini bisa dilihat juga dalam kitab shohih Al-Bukhari no.2434. Faedah dari hadits ini bahwasannya Abu Syah meminta kepada Nabi agar dituliskan tentang isi khutbahnya, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat untuk menuliskan isi khutbah tersebut untuk Abu Syah, dan para sahabat-pun menuliskan untuknya. Dari kisah ini menulis dan mencatat ilmu merupakan kebiasaan salaf, bahkan menulis ilmu merupakan cara terbaik untuk mengikat ilmu dan menjaganya agar tidak hilang. 

Dari Ma'n, ia mengatakan :

.((أخرج إلي عبد الرحمان بن عبد الله بن مسعود كتابا، وحلف لي إنه خط أبيه بيده))

"Abdurrahman bin Abdillah bin Mas'ud mengeluarkan kepadaku sebuah tulisan, dan dia bersumpah kepadaku bahwasannya itu adalah tulisan bapaknya dengan tangannya." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.311. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Dalam atsar ini, Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud - yaitu anaknya Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu - mengeluarkan sebuah tulisan yang ditulis oleh ayahnya Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berupa hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu-pun mencatat dan menulis ilmu. 

Dalam atsar yang lain :   

عن همام بن منبه أنه سمع أبا هريرة يقول : ((لم يكن أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر حديثا مني إلا عبد الله بن عمرو بن العاص ؛ فإنه كتب ولم أكتب))

"Dari Hammam bin Munabbih bahwasannya dia mendengar Abu Hurairoh mengatakan : "Tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih banyak hadits-nya dariku kecuali Abdullah bin 'Amr bin al-Ash ; karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.299. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Pada atsar ini, sahabat yang mulia Abdullah bin 'Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, ia mencatat dan menulis semua ilmu yang ia dengar dari Rasulullah, sehingga hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga dalam hafalan dan tulisannya, karena sebab inilah Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu-pun memuji Abdullah bin Amr bin al-Ash.

Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr bin Al-Ash bersesuaian dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash sendiri dan juga Abdullah bin Abbas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

.((قيدوا العلم بالكتاب))

"Ikatlah ilmu dengan menulis." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.306. Cet. Daar Ibnil Jauzi. Lihat juga Shohiihul Jaami' no. 4434 (hal.816). Cet. Al-Maktab al-Islamiy. Lihat juga Silsilah al-Ahadiits ash-Shohiihah no.2026 (hal.40). Cet. Maktabah al-Ma'arif lin-Nasyr wat-Tauzi']

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk mengikat ilmu dengan tulisan, karena beliau tahu tabiat manusia tidak akan lepas dari sifat lupa. 

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan kepada anaknya :

.((يا بني! قيدوا العلم بالكتاب))

"Wahai anak-ku!, ikatlah ilmu dengan menulis." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.316. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma juga pernah mengatakan :

.((قيدوا العلم بالكتاب))

"Ikatlah ilmu dengan menulis." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.310. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Demikian juga dari Atho', dari Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash radhiyallahu 'anhuma, ia berkata :

.((قيدوا العلم. قلت : وما تقييده؟ قال : الكتاب))

"Ikatlah ilmu. Aku berkata : bagaimana cara mengikatnya? Ia berkata : Dengan menulis." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.317. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Maka menulis ilmu sama dengan mengikatnya. Asy-Sya'bi pernah mengatakan : 

.((الكتاب قيد العلم))

"Menulis adalah mengikat ilmu."  [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.327. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Bahkan para ulama salaf mewasiatkan agar kita menulis ilmu meskipun di dinding. Adh-Dhohhak mengatakan :

.((إذا سمعت شيئا فاكتبه ولو في حائط))

"Jika engkau telah mendengar sesuatu, maka tulislah ia walaupun di dinding." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.312. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Ibnu Abdil Barr mengatakan : 

قد ثبت عن الشعبي أنه قال :  ((إذا سمعتم مني شيئا فاكتبوه ولو في الحائط))
وقال : ((لا تدعن شيئا من العلم إلا كتبته، فهو خير لك من موضعه من الصحيفة، وإنك تحتاج إليه يوما ما))

"Sungguh telah shohih dari Asy-Sya'biy bahwasannya ia berkata : ((Jika kalian telah mendengar sesuatu dariku, maka tulislah ia walaupun di dinding)).

Asy-Sya'biy juga mengatakan : ((Sesungguhnya janganlah engkau meninggalkan sesuatu dari ilmu kecuali engkau menulisnya (mencatatnya pada sebuah buku), karena ia lebih baik bagimu daripada menulisnya pada sebuah lembaran, karena sesungguhnya engkau akan membutuhkannya pada suatu hari nanti))." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.327. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Abu Bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, bahwa ia mengatakan : 

((أنه كان يكون مع ابن عباس، فيسمع منه الحديث فيكتبه في واسطة الرحل، فإذا نزل نسخه))

"Sesungguhnya Sa'id bin Jubair berada bersama Ibnu Abbas, lalu dia mendengarkan hadits darinya. Maka Sa'id bin Jubair menulis hadits tersebut pada pelana (tunggangannya), apabila turun, diapun menghapusnya." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.314. Cet. Daar Ibnul Jauzi].

Dan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah juga berkata : dari Abdullah bin Khansy, ia mengatakan :

.((رأيتهم عند البراء يكتبون على أيديهم بالقصب))

"Aku melihat mereka (para ahlul hadits) disisi Al-Bara', mereka menulis diatas ruas tangan-tangan mereka." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.315. Cet. Daar Ibnul Jauzi].

Dari beberapa atsar diatas menjelaskan kepada kita tentang besarnya semangat para ahlul hadits dalam menulis ilmu dari guru-gurunya, hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan mereka dalam mendapatkan kertas bukan alasan untuk tidak mencatat, apalagi dizaman modern ini betapa banyak sarana yang bisa digunakan, dari kertas, buku, bahkan alat perekam dll, tapi ilmu tidak masuk dan seolah hilang begitu saja.

Dalam atsar yang lain dari Basyir bin Nahik, ia mengatakan : 

((كنت أكتب ما أسمع من أبي هريرة، فلما أردت أن أفارقه أتيته بكتابي. فقلت : هذا سمعته منك؟ قال : نعم))

"Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Abu Hurairoh, maka tatkala aku ingin berpisah darinya, aku mendatanginya dengan membawa tulisanku. Maka aku katakan : Ini adalah yang aku dengar darimu? Abu Hurairoh mengatakan : 'Ya'." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.313. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Yahya bin Sa'id mengatakan :

.((لأن أكون كتبت كل ما كنت أسمع أحب إلي من أن يكون لي مثل مالي))

"Sungguh aku menulis semua yang pernah aku dengar lebih aku cintai daripada seseorang memberiku harta semisal hartaku." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.323. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Muawiyyah bin Qurrah mengatakan : 

.((من لم يكتب العلم فلا تعدوه عالما))

"Barangsiapa yang tidak mau menulis ilmu, dia tidak dikatakan berilmu."  [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.321. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Ibnu Abdil Barr lalu membawakan riwayat lain terkait ucapan Muawiyyah bin Qurrah yang dikeluarkan oleh al-Khatib dari jalan al-Hasan bin Ali bin Affan, ia berkata : Menceritakan kepada kami Zaid Ibnul Habbab... Lalu Ibnu Abdil Barr menyebutkan lafadznya : 

.((من لم يكتب العلم فلا تعد علمه علما))

"Barangsiapa yang tidak mau menulis ilmu, maka ilmunya tidak dikatakan ilmu." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.322. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Abu Zur'ah mengatakan :

.سمعت أحمد بن حنبل ويحيى بن معين يقولان : ((كل من لا يكتب العلم لا يؤمن عليه الغلط))

"Aku mendengar Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma'in mengatakan : ((Setiap orang yang tidak menulis ilmu dia tidak akan aman dari kesalahan))." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.330. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Demikian juga dari Abu Qilabah, ia mengatakan :

.((الكتاب أحب إلي من النسيان))

"Menulis (ilmu) lebih aku cintai dari pada lupa)." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.314. Cet. Daar Ibnil Jauzi].

Serta masih banyak atsar-atsar lainnya. Karena itu, catatlah setiap yang kita dengar dari guru-guru kita, selama itu shohih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ambillah. Diakhir zaman, tentunya sangat banyak orang-orang yang enggan mencatat ilmu. Mungkin karena pesatnya perkembangan teknologi yang memanjakan penggunanya, sehingga setiap hari, ilmu bisa saja masuk kedalam ponselnya melalui grup-grup dakwah atau berseliweran di sosial media, tapi permasalahannya apakah tulisan itu dibaca dan diamalkan?. Yang kedua pembahasan kita sebenarnya adalah tentang menghadiri majelis ilmu di halaqoh para ustadz, dan kebanyakan para penuntut ilmu tidak ada yang membawa alat tulis apalagi menulis ilmu, sementara pada sisi yang lain, ada pula orang-orang yang asal-asalan mengambil ilmu, mereka mengambilnya dari yang bukan ahlinya, mengambilnya dari ahli bid'ah, tokoh-tokoh kesesatan, firqoh-firqoh menyimpang dan lain sebagainya, sehingga mereka sesat dan menyesatkan, waliyaadzubillah. 

Sulaiman bin Musa pernah mengatakan :

((يجلس إلى العالم ثلاثة : رجل ياخذ كل ما يسمع فذلك حاطب ليل، ورجل لا يكتب وسمع فيقال له : جليس العالم، ورجل ينتقي وهو خيرهم)).

قال أبو عمر : العرب تضرب المثل بحاطب الليل للذي يجمع كل ما يسمع من غث وسمين، وصحيح وسقيم، وباطل وحق، لأن المحتطب بالليل ربما ضم أفعى فنهشته، وهو يهسبها من الحطب

"Ada tiga jenis manusia yang duduk (bermajelis ilmu kepada) orang yang berilmu : Seseorang yang mengambil/menulis semua yang dia dengar, orang itu disebut pengumpul kayu bakar di malam hari, seseorang yang tidak menulis namun mendengarkan, dia disebut temannya orang yang berilmu tersebut, dan seseorang yang memilih (jika baik dicatat jika tidak ditinggalkan), dia adalah orang yang paling baik diantara mereka.

Berkata Abu Umar : 'Orang arab membuat perumpamaan dengan pengumpul kayu bakar di malam hari bagi orang yang mengumpulkan semua yang telah ia dengar, yang tidak baik maupun yang baik, yang shohih maupun yang tidak, yang bathil maupun yang haq, karena orang yang mengumpulkan kayu bakar di malam hari, boleh jadi dia akan mengumpulkan ular berbisa lalu menyengatnya, sedangkan dia menyangka itu adalah kayu bakar.'" [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.328. Cet. Daar Ibnul Jauzi].

Dalam atsar ini terdapat tiga faedah, (1) orang yang mencatat semua apa yang dia dengar, baik yang shohih maupun yang dhoif. Maka orang yang seperti ini ibarat pengumpul kayu bakar dimalam hari, dalam kegelapan malam dia tidak tahu yang dia kumpulkan bukan kayu bakar, tapi ular berbisa yang akan membunuhnya.

(2) Orang yang tidak mencatat samasekali, maka orang ini dikatakan sebagai teman duduknya orang 'alim tersebut, teman duduknya ulama, teman sezaman, teman sekufunya dalam hal ilmu, dengan kata lain orang yang kedua ini-pun termasuk orang yang berilmu. Adapun kita pada hari ini, ilmunya tidak sekufu dengan ilmu ustadz-ustadznya, tapi kita justru datang ke majelis ilmu bertahun-tahun tanpa membawa selembar kertas-pun, tidak pula buku catatan, bahkan tidak membawa alat tulis sama sekali, lalu apa faedah ilmu yang akan didapatkan? Tentunya hanya sedikit dari faedah ilmu, atau bahkan tidak mendapatkan faedah ilmu sama sekali. Karena itu catatlah ilmu, kita tidak akan bisa menangkap dan mencerna semua ilmu yang disampaikan oleh ustadz dan para masyaikh di majelisnya. Bahkan seringkali sebelum sampai di rumah masing-masing, materi kajian yang disampaikan telah hilang dalam benak kita karena lupa. 

(3) Orang yang memilah dan memilih apa yang perlu dia catat. Orang yang seperti ini termasuk yang paling baik diantara kedua jenis penuntut ilmu diatas. Jika yang disampaikan oleh ustadz, orang 'alim atau para ulama dimajelisnya termasuk ilmu yang tidak pernah ia dengar, maka dia mencatatnya. Atau jika ada faedah ilmu yang sekiranya dapat memberi faedah untuk dirinya, keluarganya, agamanya, serta dunia dan akhiratnya, maka dia akan mencatat. Adapun jika yang disampaikan sudah dia ilmui, maka dia akan duduk mendengar seraya memperhatikan adab para ustadz dan alim ulama untuk diterapkan dalam kehidupannya, dan inilah yang terbaik diantara kedua hal diatas. Sepulang kajian, orang-orang yang seperti ini akan membawa pulang "gonimah" ilmu yang melimpah untuk dirinya dan keluarganya. Setelah berlalulnya waktu, faedah ilmu yang telah ditulisnya akan terus terikat kuat dalam catatan yang sewaktu-waktu bisa ia baca kembali. 

Namun penyakit yang menimpa penuntut ilmu diakhir zaman adalah malas mencatat. Bukan saja malas mencatat tapi memang tidak suka dan tidak terbiasa menulis ilmu, padahal menulis dan mencatat ilmu adalah kebiasaan salaf. Ya ikhwah, catatlah ilmu, tulislah faedah yang disampaikan oleh guru-guru kalian di majelis kajian tematik atau kajian pekanan kalian, karena hal itu lebih baik bagi kalian dan lebih berfaedah buat agama kalian. Terkadang, ada sebagian ikhwah yang semangat ingin mencatat ilmu, tapi karena mayoritas penuntut ilmu tidak ada yang mencatat dan menulis bahkan tidak ada yang membawa alat tulis apalagi alat perekam, sehingga muncul sifat malu dan minder pada sebagian penuntut ilmu yang semangat dan akhirnya dia enggan untuk mencatat dan mengharokati kitabnya. Tentu ini sangat merugi, karena dia telah kehilangan faedah-faedah ilmu yang harus dihafal dari para asatidzah dan para ulama yang mengisi muhadharoh dan kajan-kajian ilmiyyah ditempatnya. Dan sebagai penutup, kita akan bawakan ucapan Al-Khalil bin Ahmad :

.((ما سمعت شيئا إلا كتبته، ولا كتبته إلا حفظته، ولا حفظته إلا نفعني))

((Tidaklah aku mendengar sesuatu kecuali aku akan menulisnya, dan tidaklah aku menulisnya kecuali aku menghafalnya, dan tidaklah aku menghafalnya kecuali akan bermanfaat bagiku." [Jaami'u Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlih, hal.335. Cet. Daar Ibnul Jauzi].

Semoga Allah menuntun kita dan para ikhwah sekalian agar menjadi penuntut ilmu sejati, yang membawa buku dan alat tulis ketika kajian, membawa kitab jika itu kajian kitab, dan mencatat ilmu bila diperlukan, menghafalnya lalu mengamalkannya. Wallahu a'lam.

***

Dompu, Nusa Tenggara Barat : 25 Dzulqo'dah 1443 H/6 Juli 2021 

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy
Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts:

0 Response to "IKATLAH ILMU DENGAN TULISAN"

Post a Comment