PERJALANAN ILMU NAHWU

Dahulu orang-orang arab di jaman kejahiliyahan mereka, mereka tinggal disemenanjung jazirah arab dan tidak bercampur dengan orang-orang asing. Dan hal itu membuat mereka semakin fasih dan jauh dari kesalahan dalam berbahasa.

Lalu muncul islam, dan orang-orang arab pun mulai meninggalkan kejahiliyahan mereka dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Hingga wafat-lah Rasulullah dan kekhalifahan di pegang oleh Abu Bakar, lalu Umar. Dan pada zaman Umar, perluasan Islam semakin membentang sampai pada penaklukan kerajaan persia dan romawi, menyebabkan orang-orang arab berinteraksi dengan orang-orang asing, budak-budak pun banyak berdatangan dan mendiami jazirah arab lalu kefasihan bahasa arab-pun mulai terkikis. Dan diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah :

KESALAHAN YANG TERJADI DI ZAMAN UMAR

Ada tiga kesalahan pada zaman Umar dan dari sini awal ada perhatian untuk membenahi kesalahan dalam ilmu Nahwu. 

1.KESALAHAN PERTAMA

Diceritakan dalam syarah Alfiyah Ibnu Malik berkata Imam Ibnu Aqiil :

كما حدث في أن كاتب أبي موسى الأشعري كتب عنه كتابا الى عمر بن الخطاب يقول فيه : ((من أبو موسى الأشعري الخ....)) فلما قرأه عمر رضي الله عنه أرسل إلى أبي موسى : ((أن قَنِعْ كاتبك سوطا

[تهذيب شرح ابن عقيل لالفية ابن مالك : ١\١٠]

"Sebagaimana di ceritakan bahwasannya sekretaris Abu Musa al-Asy'ari telah menulis sebuah surat untuk Umar bin Al-Khatab dia berkata dalam suratnya :  ((Dari Abu Musa al-Asy'ari dan seterusnya....)) Ketika Umar radhiyallahu 'anhu membacanya maka Umar mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy'ari : ((Pukullah sekretaris-mu dengan mencambuknya)). [Tahdziib Syarh Ibni 'Aqiil lialfiyah Ibni Maalik, 1/10]

Letak kesalahan :

من أبو موسى الأشعري

Harusnya :

من أبي موسى الأشعري

Dari kisah ini, dapat diambil faedah bahwasanya Umar radhiyallahu 'anhu memerintahkan untuk mencambuk orang yang salah dalam tata bahasa arab, karena menurut beliau kesalahan dalam tata bahasa arab bukan perkara yang sepele. Kedua, perhatian Umar radhiyallahu 'anhu tentang bahasa arab sangat besar, karena bahasa arab termasuk bagian dari agama Islam. Ketiga peristiwa diatas menunjukkan bolehnya seorang pemimpin mencambuk orang yang salah dalam tata bahasa arab.


2. KESALAHAN KEDUA

Kesalahan kedua ini yaitu kisah Umar yang memantau pasukan perang yang sedang berlatih memanah. Peristiwa ini juga dimuat dalam syarah Alfiyah Ibnu Malik oleh Imam Ibnu Aqil. Berkata Ibnu Aqil rahimahullah :

 :و مر عمر يوما على قوم يتعلمون رمي السهام فلم يعجبه رميهم، فانبهم فقالوا له : ((إنا قوم متعلمين))، فافزعه ذلك و قال
 ((!!والله لخطؤكم في لسانكم أسد علي من خطئكم في رميكم))

[تهذيب شرح ابن عقيل لالفية ابن مالك : ١\١١]

"Suatu hari Umar melewati suatu kaum yang sedang belajar memanah, akan tetapi tidak mengagumkan Umar cara memanah mereka, maka mereka-pun mengabarkan kepada Umar dan mengatakan :
((Sesungguhnya kami adalah kaum yang baru belajar memanah)), maka ucapan tersebut membuat Umar terkejut dan berkata ((Demi Allah, sungguh kesalahan kalian dalam berbicara lebih dahsyat bagiku dari pada kesalahan kalian dalam memanah))." [Tahdziib Syarh Ibni 'Aqiil li Alfiyath Ibni Maalik : 1/11]

Letak kesalahan :

«إنا قوم متعلمين»

Harusnya :

«إنا قوم متعلمون»

Pada peristiwa diatas, Umar radhiyallahu 'anhu menganggap kesalahan dalam tata bahasa arab lebih besar dan lebih parah daripada kesalahan mereka dalam memanah. Ini menunjukkan akan pentingnya kefasihan berbahasa arab, dan tidak mungkin kefasihan bisa diraih kecuali dengan jalan mempelajari ilmu nahwu.


3. KESALAHAN KETIGA 

Kisah kesalahan ketiga ini yang paling parah, yaitu kisah didatangkannya seorang badui kepada Umar radhiyallahu 'anhu akibat kesalahannya dalam membaca surat At-Taubah ayat 3 yang ia pelajari dari seorang guru.

Dalam sebuah kitab berjudul I'robul Qur'anil Karim wa Bayaanuhu, penulis kitab tersebut menjelaskan tentang sebab-sebab peletakan ilmu Nahwu, beliau menyebutkan sebuah kisah :

جيء إلى عمر بن الخطاب برجل يقرأ : ((أن الله بريء من المشركين ورسوله)) بالجر، فسأله، فقال : هكذا قرأت في المدينة، فقال عمر : ليس هكذا، إنما هي ورسوله، بضم اللام، فإن الله لا يبرأ من رسوله ثم أمر أن لا يقرأ القرآن الا عالم بالعربية، ودعا بأبي الأسود الدؤلي فأمره أن يضع النحو. فمقتضى هذه الرواية أن هذا العلم لم يكن معروفا قبل أبي الأسود، وإن كلام الناس قبله إنما كان بمجرد الفطرة وهو المعهود.

[إعراب القرآن الكريم و بيانه. ص : ٥٤\٤. دار ابن كثير]

“Didatangkan kepada Umar Ibnul Khaththab seorang laki-laki yang membaca;  ((أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُوْلِهِ)), dengan men-jar kan (harokat huruf lam pada katِa وَرَسُوْلِهِ) maka dia -pun bertanya kepada Umar dan berkata : ‘Apakah demikian engkau membacanya di kota madinah?’ Maka Umar berkata : ‘Bukan seperti itu, tapi dia (dibaca) وَرَسُوْلُهُ, dengan mendhommah-kan huruf laam, karena sesungguhnya Allah tidak akan berlepas diri dari rasul-Nya. Kemudian Umar memerintahkan agar tidak mengajarkan ilmu (Al-Qur-an) kecuali orang yang berilmu tentang bahasa arab. Dan Umar memanggil Abul Aswad ad-Duali dan memerintahkannya untuk meletakkan (dasar-dasar) ilmu Nahwu. Yang dikehendaki dari riwayat ini bahwa ilmu ini (Nahwu) tidak dikenal sebelum Abul Aswad, dan sungguh orang-orang sebelumnya mengatakan bahwa dahulu tidak ada fitrah ini (mempelajari ilmu Nahwu) dan ilmu Nahwu ini akhirnya dikenal secara luas." [I'roobul Qur-anil Kariim wa Bayaanuhu, halaman 54/4. Daar Ibni Katsir]

Dari kisah diatas, badui tersebut telah melakukan kesalahan fatal tatkala ia membaca surat at-Taubah ayat 3 yang lengkapnya sebagaimana firman Allah Ta'ala :

وَأَذَٰنٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَرِ أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُۥ ۚ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى ٱللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya : "Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah : 3)

Namun parahnya, orang badui tersebut malah membaca ayat diatas dengan :

«أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُلِهِۥ»

Jika ayat diatas dibaca «وَرَسُلِهِۥ» maka arti ayat diatas akan berubah menjadi, "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan berlepas diri dari Rasul-Nya."

Bacaan tersebut tentu sangat keliru dan sangat fatal, karena konsekuensinya adalah Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan juga berlepas diri Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal tidak demikian.  

Dan (بَرِىٓءٌۭ) bisa bermakna melepas, menjauhi, memutuskan hubungan dsb, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

بَرَآءَةٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلَّذِينَ عَـٰهَدتُّم مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Artinya : "(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)." (QS. At-Taubah : 1)

Allah Ta'ala juga berfirman :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِۦٓ إِنَّنِى بَرَآءٌۭ مِّمَّا تَعْبُدُونَ

Artinya : "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku berlepas diri (tidak bertanggung jawab) terhadap apa yang kamu sembah." (QS. Az-Zukhruf : 26)

Yang kedua :  Tidak mungkin Allah berlepas diri dari Rasul-Nya karena Allah Ta'ala bahkan telah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai kekasih-Nya, sebagaimana ucapan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah :

وأما الخلة فتوحيد المحبة، فالخليل هو الذي توحد حبه لمحبوبه، وهي رتبة لا تقبل المشاركة، ولهذا اختص بها في العالم الخليلان إبراهيم ومحمد صلوات الله وسلامه عليهما، كما قال الله تعالى : «وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًۭا» [النساء : ١٢٣] وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ((إن الله اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم خليلا)). وفي الصحيح عنه صلى الله عليه وسلم : ((لو كنت متخذا من أهل الأرض خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا. ولكن صاحبكم خليل الرحمان))، وفي صحيح أيضا : ((إنى أبرأ إلى كل خليل من خلته)). و لما كانت الخلة لا تقبل المشاركة امتحن الله سبحانه إبراهيم الخليل بذبح ولده لما أخذ شعبة من قلبه، وأراد سبحانه أن 
 يخلص تلك شعبة له ولا تكون لغيره، فامتحنه بذبح ولده، والمراد ذبحه من قلبه، لا ذبحه بالمدية، فلما أسلما لأمر الله وقدم محبة
.الله تعالى على محبة الولد، خلص مقام الخلة وفدى الولد بالذبح

[روضة المحبين ونزهة المشتاقين، ص : ٣٣-٣٤. دار الكتب العلميه]

“Adapan Al-Khullah yaitu membuat menjadi satu cinta, adapun Al-Khaliil adalah orang yang menyatu cintanya kepada yang dicintai, dan Al-Khullah adalah derajat (cinta paling tinggi) yang tidak menerima persekutuan. Oleh karena itu dikhususkan dengan Al-Khullah di alam semesta ini yaitu dua orang kekasih, Ibrahim dan Muhammad wa shalawaatullahi wa salaamuhu 'alaihima, sebagaimana firman Allah «Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangnya-Nya» (An-Nisa’ : 124). Dan telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam «Sesungghunya Allah mengambil-ku sebagai kekasih sebagaimana Allah mengambil Ibrahim sebagai kekasih». Dan didalam hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam «Kalau seandainya aku mengambil penduduk bumi sebagai kekasih, maka benar-benar aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasih. Akan tetapi shahabat kalian (yaitu Nabi sendiri) adalah kekasih Ar-Rahmaan (Allah)», dalam hadits shahih juga : «Sesungguhnya aku berlepas diri dari setiap khalil dari kekhususan cinta-Nya». Dan tatkala Al-Khullah  merupakan kedudukan yang tidak menerima persekutuan, maka Allah -Maha Suci Dia- menguji Ibrahim Al-Khaliil dengan menyembelih anaknya tatkala dia mengambil cabang hatinya (untuk disembelihkan), dan Allah -Maha Suci Dia- menginginkan agar Ibrahim mengikhkaskan buah hatinya itu untuk Allah dan tidak untuk selain-Nya, dan Allah mengujinya dengan menyembelih anaknya, yang diinginkan (dengan menyembelih) adalah ia menyembelih anaknya dari hatinya bukan menyembelih dengan pisau, dan tatkala mereka berdua (Ibrahim dan Ismail) telah tunduk dengan perintah Allah dan mendahulukan cintanya kepada Allah Ta'ala daripada cintanya kepada anaknya, maka telah murnilah martabat Al-Khullah (cinta) dan diapun telah mendapatkan kembali anaknya (yang diganti) dengan sebuah sembelihan.” [Raudhatul Muhibbin, wa Nuzhatul Musytaaqiin, hal : 33-34. Cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah].


YANG PERTAMA MEMPOPULERKAN ILMU NAHWU

Yang pertama mempopulerkan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali sebagaimana disebutkan :

هذا وقد اشتهر أن أبا الأسود الدؤلي هو أول من وضع علم النحو قالوا : إنه سمع ابنته يوما تلحن فذهب إلى علي بن أبي طالب، فقال له : فشا اللحن في أبنائنا وأخشى أن تضيع اللغة فقال له الإمام : اكتب بسم الله الرحمان الرحيم الكلام كله ثلاثة : اسم وفعل وحرف، فالاسم كذا والفعل كذا والحرف كذا، والأسماء ثلاثة : ظاهر ومضمار ومبهم، والفاعل مرفوع أبدا، والمفعول منصوب أبدا والمضاف مجرور أبدا، فافهم وقس، وما عن لك من الزيادة فاضممه.

[إعراب القرآن الكريم و بيانه. ص : ٥٤\٤. دار ابن كثير]

“Dalam masalah ini, sungguh menjadi masyhur bahwa Abul Aswad ad-Duali dia adalah orang yang pertama kali meletakkan (dasar-dasar) ilmu Nahwu, mereka berkata : ‘Bahwasannya pada suatu hari dia mendengar anak perempuannya salah dalam berbicara lalu dia pergi menuju Ali bin Abi Thalib, maka dia berkata kepada Ali : ‘Tersebar kesalahan pada anak-anak kita dan saya takut akan hilang bahasa arab (yang fasih), berkata  Imam (Ali bin Abu Thalib) kepada Abul Aswad : ‘Tulislah dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang bahwa al-kalaam ada tiga : Isim, Fiil, Huruf, dan isim itu seperti ini dan fiil itu seperti ini dan huruf itu seperti ini. Isim-isim pun terbagi tiga : Dhahir, Dhomir, Mubham, dan faail marfu’ selamanya, mafulun bihi manshub selamanya, dan mudhof (ilaihi) majrur selamanya, maka fahamilah dan telitilah, dan apa yang muncul darimu berupa tambahan maka kumpulkanlah ia." [I'roobul Qur-anil Kariim wa Bayaanuhu, halaman 54/4. Daar Ibni Katsir]

Setelah sekian lama waktu berlalu, ilmu nahwu ini-pun menjadi ilmu yang paling penting untuk dipelajari, sampai-sampai Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan :

فالنحو فيه فوائد عظيمة، ولذلك يقولون : ((إن نحو في الكلام كلملح في الطعام))، بمعنى أنه يحسنه و يجمله، بل هو أشد من الملح في الطعام، لأنه لا بد من معرفته لكل إنسان يريد أن يقيم لسانه على وفق كلام الله، وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم

[شرح ألفية ابن مالك، لفضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين. ص : ١٧]

"Ilmu Nahwu didalamnya mengandung faedah-faedah yang agung, karena itu mereka mengatakan :
((Sesungguhnya ilmu Nahwu dalam pembicaraan bagaikan garam dalam makanan)), maknanya, membaguskan dan memperindahnya bahkan lebih penting daripada garam dalam makanan, karena ilmu nahwu merupakan perkara wajib kewajiban yang harus diketahui oleh seluruh manusia, yang ingin agar dikokohkan lisannya supaya cocok dengan kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Syarh Alfiyah Ibni Malik, Li Fadhilati Asy-Syaikh Al-'Allaamah, Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, hal.17. Maktabah Ar-Rusd]

Sorang penyair pernah mengatakan :

من تعلم اللغة العربية فهو من العاقلين

"Barangsiapa yang mempelajari bahasa arab, maka dia termasuk orang-orang yang beraqal."

Mari kita pelajari bahasa arab, karena bahasa arab merupakan bahasa Al-Qur'an dan bahasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semoga bermanfaat 

***

Dompu, 1 Rabbiul Awwal 1440H/9 November 2018

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy 

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts:

0 Response to "PERJALANAN ILMU NAHWU"

Post a Comment