IMAM ABU HANIFAH MENGKAFIRKAN ORANG YANG MENOLAK ALLAH DIATAS ARSY

Bismillah, alhamdulillahirabbil 'aalamiin, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin, wa ba'du.

Diakhir zaman ini banyak bermunculan orang-orang yang memiliki pemahaman bahwa Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang. Atau muncul juga orang orang yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana, atau pemahaman yang mengatakan bahwa Allah menyatu dengan makhluk. Semua pemahaman-pemahaman ini bathil dan menyimpang dari jalannya para shalafus sholeh, karena dalil-dalil yang menunjukkan Allah diatas sangat banyak, baik dalil-dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' salaf, dalil akal, fitrah yang selamat dan lain sebagainya. 

Yang lebih berbahaya, pemahaman sesat tersebut bisa menipu umat dan menyesatkan kaum muslimin. Karena itulah para ulama salaf tegas mengingkari bahkan  mengkafirkan orang-orang yang menolak bahwa Allah 'Azza wa Jalla berada diatas langit. Diantara para ulama yang mengkafirkan mereka yang menolak Allah Ta'ala berada diatas langit adalah Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Berkata Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitabnya Itsbaatu Shifatil Uluw : 

وبلغني عن إبي حنيفة (رحمه الله) أنه قال (في كتاب فقه الأكبر) : من أنكر أن الله (تعالى) في السماء فقد كفر. 

[إثبات صفة العلو، للإمام موفق الدين بن محمد عبد الله بن أحمد بن قدامة المقدسي، ص : ١٧٠. تحقيق : د. أحمد بن عطية الغامدي. مكتبة العلوم والحكام]

"Dan telah menyempaikan kepadaku dari Abu Hanifah (rahimahullah) bahwasanya ia berkata (dalam kitab Al-Fiqhul Akbar) : "Barangsiapa yang mengikari bahwasanya Allah (Ta'ala) diatas langit maka sungguh dia telah kafir." [Lihat Kitab Itsbaatu Shifatil 'Uluw, penulis Al-Imam Mufaffiquddin Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, halaman : 70. Tahqiq Doktor Ahmad bin 'Athiyyah al-Ghomidiy Cetakan Maktabah Al-'Uluum wal Hikam]

Berkata pentahkiq kitab Itsbaatu Shifatil 'Uluw yaitu Doktor Ahmad bin 'Athiyyah al-Ghomidiy :

وقد أورد الإمام الذهبي في العلو ص ١٠١ فقال : وبلغنا عن أبي مطيع البلخي صاحب الفقه الأكبر قال : سألت أبا حنيفة عمن يقول : لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال : قد كفر لأنه تعالى يقول : «ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ» وعرشه فوق السماواته. 

[إثبات صفة العلو، للإمام موفق الدين بن محمد عبد الله بن أحمد بن قدامة المقدسي، ص : ١٧٠. تحقيق : د. أحمد بن عطية الغامدي. مكتبة العلوم والحكام]

"Sungguh Imam Ada-Dzahabi telah menyebutkan (ucapan Abu Hanifah) dalam kitab Al-Uluw halaman 101, beliau mengatakan : Menyampaikan kepada kami Abu Muthii' al-Balkhi pemilik kitab Fiqhul Akbar, ia berkata : 'Saya bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata : 'Saya tidak mengetahui Tuhan-ku di atas langit atau di bumi', maka Abu Hanifah berkata : 'Sungguh dia telah kafir, karena Allah Ta'ala berfirman : «Artinya : (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy», dan Arsy Allah berada di atas langit'." [Lihat kitab Itsbaatu Shifatil 'Uluw, penulis Al-Imam Mufaffiquddin Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisiy, halaman : 70. Tahqiq Doktor Ahmad bin 'Athiyyah al-Ghomidiy Cetakan Maktabah Al-'Uluum wal Hikam]

ALLAH DIATAS BERDASARKAN DALIL AL-QUR'AN

Sebaik-baik yang menjelaskan tentang keberadaan Allah adalah Allah itu sendiri. Mengingkari keberadaan Allah di atas langit, sama saja dengan mengingkari kabar yang datang dari Allah 'Azza wa Jalla sendiri melalui ayat-ayat-Nya. Karena itu bila Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang-orang yang mengingkari Allah berada diatas Arsy, mungkin beliau melihat bahwa mengingkari satu ayat bahkan satu huruf saja dari Al-Qur'an merupakan perkara yang bisa menyebabkan seseorang kafir dan keluar dari Islam. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan Allah berada di atas langit adalah beberapa firman Allah Ta'ala diantaranya :

«أَمْ أَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ»

Artinya : "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit?". (QS.Al-Mulk : 16)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ»

Artinya : "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang diatas mereka.(QS.An-Nahl : 50)

Allah Ta'ala berfirman :

«تَعْرُجُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍۢ كَانَ مِقْدَارُهُۥ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍۢ»

Artinya : "Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (QS.Al-Ma'aarij : 4)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«تَنزِيلٌۭ مِّنَ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ. كِتَـٰبٌۭ فُصِّلَتْ ءَايَـٰتُهُۥ قُرْءَانًا عَرَبِيًّۭا لِّقَوْمٍۢ يَعْلَمُونَ»

Artinya : "Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (QS.Fusshilat : 2-3).

Allah Ta'ala juga berfirman :

 «بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيْهِ»

Artinya : "Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya." (QS.An-Nisaa' : 158)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ»

Artinya : "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS.Thoha :5)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ»

Artinya : "Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik." (QS.Faathir : 10)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى»

Artinya : "Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi". (Al-A'la : 1)

Allah Ta'ala juga berfirman :

«لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ»

Artinya : "Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. Asy-Syura : 4).

Inilah sebagian ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang keberadaan Allah diatas langit. Dia beristiwa diatas Arsy-Nya, tinggi diatas makhluk-makhluk-Nya.

ALLAH DIATAS BERDASARKAN DALIL DARI AS-SUNNAH

Diantara kabar yang shohih yang menjelaskan tentang keberadaan Allah diatas Arsy yaitu hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang shohih, karena sebaik-baik yang mengetahui tentang keberadaan Allah setelah Allah 'Azza wa Jalla sendiri yaitu kekasih-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Nabi pilihan. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti sama saja dia mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan barangsiapa yang mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia bisa kafir keluar dari Islam.

Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang keberadaan Allah diatas Arsy sangat banyak, dan hadits-hadits itu datang dalam tiga keadaan, pertama dalam bentuk ucapan, kedua dalam bentuk perbuatan, ketiga dalam bentuk taqriir atau persetujuan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Berkata Asy-Syaikh Nu'man bin Abdul Karim al-Watr :

: ثبت علو الله عز وجل بالسنة على ثلاثة أوجه

الأول : من قول صلى الله عليه وسلم، فقد ثبت في الصحيحين أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((الا تامنوني و أنا أمين من في السماء؟...)) وفيهما من حديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((لما خلق الله الخلق كتب في كتابه فهو عنده فوق  لعرش : إن رحمتي سبقت غضبي)).

الثالث : من تقريره صلى الله عليه وسلم، لما ثبت في مسلم من حديث معاوية بن الحكم السلمي أن رسول الله صلى الله عليه وسل قال للجارية : ((أين الله؟)) قالت : في السماء، قال : ((من أنا؟)) قالت : رسول الله، قال : ((أعتقها فإنها مؤمنة))

[تحفة المريد شرح القول المقيد، ص : ١٤-١٥. مكتبة الإرشاد]

"Telah tetap ketinggian Allah 'Azza wa Jalla dalam As-Sunnah pada tiga sisi :

1. Dari ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Telah tetap dalam shohih Al-Bukhari dan Muslim bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Tidakkah kalian beriman kepadaku sedangkan aku kepercayaan Yang di langit?)).

Dan di dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim juga dari hadits Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Ketika Allah menciptakan makhluk Dia menulis dalam kitab-Nya sedangkan kitab tersebut berada disisi-Nya diatas Arsy : "Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemarahanku-Ku)).

2. Dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam shohih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Abbas dan selainnya pada waktu khutbah perpisahan, dan Rasulullah bersabda di akhir khutbah tersebut : ((Bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah!))Kemudian Nabi mengisyaratkan dengan jarinya ke arah langit. Dan dalam hadits Ibnu Abbas juga ketika datang kepada Nabi orang arab badui yang meminta (didoakan) agar diturunkan hujan kepada mereka. Maka Nabi menengadahkan tangannya keatas langit dan berkata : ((Ya Allah turunkan kepada kami hujan..))

3. Dari persetujuan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana telah tetap dalam hadits Muslim dari hadits Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada seorang budak wanita : ((Dimana Allah?)) Budak wanita  berkata : Di atas langit. Nabi bersabda : ((Siapa saya?)) Budak wanita berkata : (Engkau) utusan Allah. Rasulullah bersabda : ((Merdekakan dia karena sesungguhnya dia wanita yang beriman)). [Tuhfatul Muriid, Syarh Al-Qoul Al-Mufiid. hal.14-15. Maktabatul Irsyaad]

Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan tentang keberadaan Allah diatas langit diantaranya hadits tentang turunnya Allah di sepertiga malam yang terakhir. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

((ينزل ربنا إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول : من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرون فأغفر له)). متفق عليه.

((Rabb kita turun ke langit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir dan berkata : 'Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan berikan, barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya'). Disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Berkata Asy-Syaikh sholeh bin 'Abdul 'Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh :

هذه الحديث فيه إثبات النزول لله عز وجل ؛ لأنه قال : ((ينزل ربنا إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر))، والنزول صفة لله عز وجل ؛ لأن الذين ينزل إلى سماء الدنيا هو الله عز وجل، ونزوله عز وجل نزول يليق بجلاله وعظمته على قاعدة : ((لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ)) [الشورى : ١١].، فليس كنزول المخلوق من أنه ينتقل من مكان إلى مكان، فيكون المكان الأول إذا كان أرفع قد أظله بعد نزوله إلى المكان الذي هو أخفض منه، هذا في حق المخلوق ولا يلزم ذلك في حق الله عز وجل بل هو عز وجل ((لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ»

فإذ نثبت النزول إثبات معنى لا إثبات كيفية، من غير تمثيل ومن غير تجسيم، نزولا يليق بجلاله عظمته سبحانه وتعالى.

[اللالئ البهية في شرح العقيدة الواسطية، ٢/٣٠. دار العاصمة]

"Dalam hadits ini ada penetapan sifat turun bagi Allah 'Azza wa Jalla ; karena Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : ((Rabb kita turun ke langit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir)), dan turun merupakan sifat bagi Allah 'Azza wa Jalla, karena sesungguhnya yang turun ke langit dunia itu sendiri adalah Allah 'Azza wa Jalla, dan turunnya Allah 'Azza wa Jalla merupakan turun yang pantas bagi keagungan dan kebesaran-Nya berdasarkan qoidah «jTidak ada satupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat» [Asy-Syura : 11]. Dan turunnya (Allah) tidak sama seperti turunnya makhluk ; yaitu berpindahnya seseorang dari satu tempat ke tempat lainnya, maka tempat yang pertama apabila lebih tinggi akan menaunginya setelah dia turun menuju tempat yang lebih rendah darinya, ini merupakan hak makhluk (terjadi pada makhluk) dan hal itu tidak lazim terjadi pada Allah 'Azza wa Jalla, bahkan Allah 'Azza wa Jalla «Tidak ada satupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat»

Apabila kita menetapkan sifat turun (bagi Allah), maka penetapan sifat turun tersebut hanya secara makna saja tidak menetapkan kaifiyahnya (bagaimananya), tanpa mempermisalkan, tanpa membayangkan wujud-Nya, sebagai sifat turun yang pantas bagi keagungan dan kebesaran-Nya Subhaanahu wa Ta'ala." [Al-Laali'u Al-Bahiyyah fii Syarhi Al-Aqiidah Al-Waasithiyyah, 2/30. Daarul 'Aashimah]

Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum'atul I'tiqaad tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia :

((ومن السنة : قول النبي صلى الله عليه وسلم : ((ينزل ربنا -تبارك وتعالى- كل ليلة إلى سماء الدنيا

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ٣١. دار الاثار]

"Dalil dari As-Sunnah : Ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  : ((Rabb kita Tabaaraka wa Ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia))." [Lum'atul I'tiqaad, Al Haadiy ila Sabiilir Rosyaad, hal :31 Cet. Daarul Atsaar]

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah dalam syarahnya :

صفات العاشرة : النزول

نزول الله إلى السماء الدنيا من صفاته الثابتة له بالسنة وإجماع السلف. قال النبي صلى الله عليه وسلم : ((ينزل ربنا إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول : من يدعوني فأستجيب له....)) الحديث متفق عليه

وأجمع السلف على ثبوت النزول لله ؛ فيجب إثباته له من غير تحريف ولا تعطيل، ولا تكييف ولا تمثيل، وهو نزول حقيقي يليق بالله

وفسره أهل تعطيل بنزول أمره أو رحمته أو ملك من ملائكته، ونرد عليهم بما سبق في القاعدة الرابعة، وبوجه رابع : إن الأمر ونحوه لا يمكن أن يقول : من يدعوني فأستجيب له...ألخ

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ٣١. دار الاثار]

Sifat yang kesepuluh : Turun : "Turunnya Allah kelangit dunia termasuk diantara sifat-sifat Allah yang tetap bagi-Nya dalam As-Sunnah dan kesepakatan salaf. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Rabb kita turun ke langit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir dan berkata : 'Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan...')) Al-Hadits disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Dan salaf-pun telah bersepakat atas tetapnya (sifat) turun bagi Allah, maka wajib menetapkan sifat tersebut bagi Allah, tanpa memalingkan (maknanya), tanpa menolak, tanpa membagaimanakan, dan tanpa mempermisalkan (sifat tersebut dengan sifat makhluk), dan itu merupakan sifat turun yang hakiki yang pantas bagi Allah.

Dan ahlu ta'thil (orang-orang yang menolak sifat Allah) telah mentafsirkan (turun pada hadits tersebut) dengan turun perintah-Nya, rahmat-Nya atau malaikat dari malaikat-malaikat-Nya, dan kami bantah mereka dengan apa-apa yang telah berlalu dari qoidah yang ke empat, dan dengan sisi yang keempat : bahwasanya (jika yang turun itu) perintah dan yang semisalnya, maka tidak mungkin Dia mengatakan : barangsiapa yang berdo'a kepada-Ku maka akan aku kabulkan....hingga akhir hadits". [Lum'atul I'tiqaad, Al Haadiy ila Sabiilir Rosyaad, hal :31. Cet. Daarul Atsaar]

ALLAH DIATAS BERDASARKAN KESEPAKATAN SALAF

Sebaik-baik yang mengetahui tentang keberadaan Allah setelah Allah dan Rasul-Nya adalah para ulama. Bahkan mereka telah bersepakat tentang tingginya Allah diatas Arsy. Berkata Asy-Syaikh Nu'man bin Abdul Karim al-Watr :

وقد نقله غير واحد، مشايخ الإسلام ابن تيمية، أن السلف مجمعون على إثبات العلو لله ومما تقدم يتبين أن دعوة أهل الحلول والاتحاد مخالفة للكتاب والسنة، والإجماع، والعقل، والفطرة

[تحفة المريد شرح القول المفيد، ص : ١٦. مكتبة الإرشاد]

"Dan sungguh telah ternukilkan lebih dari satu orang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwasanya seluruh salaf telah bersepakat menetapkan ketinggian untuk Allah.

Penjelasan tentang pendapat yang telah berlalu bahwasanya dakwah ahli filsafat dan tasawuf serta paham wihdatul wujud (paham yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk) merupakan dakwah atau paham yang menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah dan ijma, serta menyelisihi akal dan fitrah." [Tuhfatul Muriid, Syarh Al-Qoul Al-Mufiid. hal.16. Maktabatul Irsyaad]

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin menyebutkan tentang Istiwa' :

استواء الله على العرش من صفاته الثابتة له بالكتاب والسنة وإجماع السلف. قال تعالى : «ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ» [طه : ٥]. وذكر استواءه على عرشه في سبعة مواضع من القرآن

وأجمع السلف على إثبات استواء الله على عرشه ؛ فيجب إثباته من غير تحريف ولا تعطيل، ولا تكييف ولا تمثيل، وهو استواء حقيقي معناه : العلو والاستقرار على وجه يليق بالله تعالى

فقد فسر أهل التعطيل بالاتيلاء، ونرد عليهم بما سبق في القاعدة الرابعة، ونزيد وجها رابعا : أنه لا يعرف في اللغة العربية بهذا المعنى، ووجها خامسا : أنه يلزم عليه لوازم باطلة مثل : أن العرش لم يكن ملكا لله ثم استولى عليه بعد

والعرش لغة : السرير الخاص بالملك، وفي الشرع : العرش العظيم الذي استوى عليه الرحمان جلا جلاله وهو أعلى المخلقات وأكبرها، وصفه الله بأنه عظيم وبأنه كريم وبأنه مجيد

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ص : ٣٣-٣٤. دار الآثار]

"Istiwa'nya Allah diatas Arsy termasuk sifat yang tetap bagi Allah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta kesepakatan para salaf. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : «(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy». [Thoha : 5]

Dan Allah telah menyebutkan tentang istiwa'nya Ia diatas Arsy-Nya ada dalam tujuh tempat didalam Al-Qur'an.

Dan kaum salaf telah bersepakat dalam menetapkan istiwa'nya Allah diatas Arsy-Nya ; maka wajib menetapkan hal tersebut tanpa memalingkan (maknanya), tanpa menolak, tanpa membagaimanakan dan tanpa mempermisalkan, dan Istiwa' tersebut merupakan Istiwa' yang hakiki, maknanya : tinggi dan menetap pada sisi yang pantas bagi Allah Ta'ala.

Dan sungguh orang-orang yang menolak sifat Allah telah mentafsirkan (kata Istiwa') dengan menguasai, maka kami bantah mereka dengan qoidah yang keempat dan kami tambah pula dengan sisi yang ke empat : Bahwasanya tidak diketahui dari qoidah bahasa arab kecuali makna ini (yaitu Allah beristiwa' diatas Arsy bukan menguasai Arsy), dan sisi yang kelima : Bahwasannya ucapan tersebut (yaitu ucapan Allah menguasai Arsy) melazimkan makna yang bathil, contoh : Bahwasanya Arsy dahulu bukan kerajaan bagi Allah kemudian setelah itu Allah menguasai Arsy tersebut!!"

Arsy secara bahasa : yaitu tempat tidur yang khusus untuk raja.

Adapun secara syar'i : yaitu Arsy yang agung yang beristiwa' diatasnya Allah Jalla Jalaaluhu, dan Arsy adalah makhluk yang paling tinggi dan paling besar, dan Allah telah mensifati Arsy bahwasanya ia sangat besar, sangat mulia dan dimuliakan." [Lum'atul I'tiqaad Al-Haadi Ila Sabiilir Rosyad, hal : 33-34. Cet.Daarul Atsaar]

Berkata penulis kitab Al-Qoul Al-Mufiid :

 أين الله؟

قال تعالى : «ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ»، وقال : «ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِى..» إلى آخر كلامه في هذا الفصل

:وقال الشيخ نعمان بن عبد الكريم الوتر في شرحه

أراد المؤلف حفظه الله تعالى بإيراد هذا إثبات علو الله عز وجل على خلقه، ومباينته لهم، واستواءه على عرشه، ومعنى استوى : أي علا، وارتفع، وصعد، واستقر، هذا هو المنقول عن السلف وعن أهل اللغة، ولم يصح في اللغة سوى هذا. وعلو الله تعالى ثابت بالكتاب، والسنة، والعقل، والفطرة، وإجماع سلف الأمة

[تحفة المريد شرح القول المفيد، ص : ١٢-١٣. مكتبة الإرشاد]

"Dimana Allah?". 

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : «(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy». Dan Allah berfirman (yang artinya) : «Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy». Sampai akhir firman-Nya dalam bab ini."

Asy-Syaikh Nu'man bin Abdil Karim al-Watr berkata dalam syarahnya :

"Penulis hafidzahullah menginginkan dengan penetapan ini, menunjukkan tingginya Allah 'Azza wa Jalla diatas makhluk-Nya, dan terpisahnya Allah dari mereka (makhluk-makhluk-Nya), dan bersemayamnya Dia diatas Arsy-Nya, dan makna istiwa : yaitu tinggi dan naik, naik dan menetap, semua ini ternukilkan dari (perkataan) salaf serta dari (perkataan) ahli bahasa, dan tidak benar dalam (kaidah) bahasa (arab) selain (makna) ini.

Dan ketinggian Allah Ta'ala itu pasti berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta bersasarkan akal, fitrah, dan kesepakatan para salaf." [Tuhfatul Muriid Syarh Al-Qoul Al-Mufiid, hal.12-13. Cet.Maktabatul Irsyaad]

ALLAH DIATAS BERDASARKAN FITRAH YANG SELAMAT

Berkata Asy-Syaikh Nu'man bin Abdul Karim al-Watr :

من الفطرة السليمة : وذلك أن قلوب العباد مفطورة على إثبات العلو لله والتوجه إليه عند الدعاء، قال تعالى : «فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ» الآية، وفي صحيحين عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ((كل مولود يولد على الفطرة..)) الحديث.

(Ketinggian Allah) berdasarkan fitrah yang selamat :

"Dalam hal ini bahwasannya hati seluruh hamba di fitrahkan untuk menetapkan ketinggian Allah dan menghadap kepada-Nya ketika berdoa, Allah berfirman (yang artinya) : "(Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah." (QS.Ar-Ruum : 30)

Dan di dalam shohih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairoh bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Setiap anak di lahirkan diatas fitrah.." (Hadits). [Tuhfatul Muriid, Syarh Al-Qoul Al-Mufiid. Hal.16, Maktabatul Irsyaad]

Untuk mengetahui Allah diatas, bisa juga bertanya kepada anak kecil yang masih lurus firtahnya. Misalnya dengan pertanyaan, dimana Allah Nak? Anak kecil yang masih polos akan menjawab diatas langit atau terkadang ia akan menunjuk dengan jari telunjuknya kearah keatas, dan inilah fitrah yang selamat. 

Jika kita memperhatikan orang-orang yang menolak keberadaan Allah diatas Arsy, terkadang ketika mereka sedang menyebut nama Allah dalam ceramahnya, tangannya secara spontan menunjuk kearah atas, bahkan diikuti oleh pandangan matanya. Kenapa ini bisa terjadi? Itulah fitrah Allah, tapi mereka lebih menyukai menyelisihi fitrahnya. 

Peristiwa-peristiwa seperti ini seringkali terjadi, ketika mereka sedang memuji Allah 'Azza wa Jalla dalam ceramah-ceramahnya, padahal ceramah-ceramah tersebut sejatinya sedang membantah tentang keberadaan Allah diatas Arsy, tetapi ucapan lisan mereka yang batil tersebut justru diselisihi oleh fitrahnya sendiri. Begitulah mereka, tetap saja mempertahankan pemahaman menyimpangnya padahal Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma' salaf telah mengatakan bahwa Allah berada diatas langit dan beristiwa' diatas Arsy-Nya.

ALLAH DIATAS BERDASARKAN AQAL

Selain dengan fitrah yang selamat, ketinggian Allah diatas Arsy bisa diketahui juga dengan aqal yang jernih. Berkata Asy-Syaikh Nu'man bin Abdul Karim al-Watr :

العقل : وذلك أن العلو صفة كمال عقلا، و السفل صفة نقص، وبإجماع العقلاء أن الكمال ثابت لله

(Ketinggian Allah secara) aqal :

"Bahwasannya tinggi merupakan sifat yang sempurna secara aqal, dan rendah merupakan sifat yang kurang, dan kesepakatan orang yang berakal bahwasannya kesempurnaan itu tetap untuk Allah." [Tuhfatul Muriid, Syarh Al-Qoul Al-Mufiid. Hal.16, Maktabatul Irsyaad]

Orang yang waras aqalnya atau belum terkontaminasi oleh paham-paham yang menyimpang, mereka akan mengatakan bahwa Allah itu diatas, karena tinggi menunjukkan kesempurnaan dan rendah menunjukkan ketidaksempurnaan.

TIDAK BOLEH MENYELEWENGKAN MAKNA AYAT ATAU HADITS

Perlu kita fahami bahwa nash-nash Al-Qur'an dan hadits harus kita fahami secara dhohir, tidak boleh diselewengkan maknanya kecuali ada dalil yang shohih yang memalingkannya dari dhohir ayat. 

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin memberikan kita qoidah penting mengenai hal ini, beliau rahimahullah mengatakan :

وقبل دخول في صميم الكتاب أحب أن أقدم قواعد هامة فيما يتعلق بأسماء الله وصفاته

القاعدة الأولى

في الواجب نحو نصوص الكتاب والسنة في أسماء الله وصفاته

الواجب في نصوص الكتاب وسنة : إبقاء دلالتها على ظاهرها من غير تغيير ؛ لأن الله أنزل القرآن بلسان عربي مبين والنبي صلى الله عليه وسلم يتكلم باللسان العربي، فوجب إبقاء دلالة كلام الله وكلام رسوله على ما هي عليه في ذلك اللسان؛ ولأن تغييرها عن ظاهرها قول على الله بلا علم وهو حرام لقوله تعالى : «قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ  مَا لَا تَعْلَمُونَ» [الأعراف : ٣٣]

مثال ذلك قوله تعالى : «بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ». [المائدة : ٦٤]

فإن ظاهر الآية : أن الله يدين حقيقتين فيجب إثبات ذلك له

فإذا قال قائل : المراد بهما : القوة

قلنا له : هذا صرف للكلام عن ظاهره فلا يجوز القول به؛ لإنه قول على الله بلا علم

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ص : ٨. دار الآثار]

"Sebelum masuk pada inti kitab, saya suka agar saya mendahului (kitab ini) dengan kaidah-kaidah penting yang berkaitan dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya :

Qoidah yang pertama :

"Merupakan suatu kewajiban adalah, mengarahkan nash-nash al-Qur'an dan sunnah dalam nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya :

Yang wajib dalam (memahami) nash-nash al-Qur'an dan As-Sunnah : yaitu (kita) menetapkan maksud ucapan tersebut secara dzohir tanpa merubahnya ; karena Allah telah menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa arab yang jelas (gamblang) dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berbicara dengan lisan arab (bahasa arab), maka wajib menetapkan maksud ucapan Allah dan ucapan Rasul-Nya secara hakikat menurut bahasa arab ; karena merubah ucapan tersebut dari dzohirnya sama dengan berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan itu hukumnya harom berdasarkan firman Allah Ta'ala

Artinya : "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". [Al-A'raf : 33]

Contoh permasalahan ini juga yaitu firman Allah Ta'ala yang artinya : "(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki". [Al-Maidah : 64]

Maka dzohir ayat ini : bahwasanya Allah memiliki dua tangan secara hakiki, maka wajib menetapkan hal itu bagi Allah."

Apabila telah berkata orang yang berkata : "Yang dimaksud dengan kedua tangan yaitu :kekuatan."

Kami katakan kepada orang tersebut : "Ini adalah memalingkan ucapan dari dzhohirnya, maka tidak boleh berbicara dengan ucapan tersebut ; karena sesungguhnya itu merupakan berbicara tentang Allah tanpa ilmu". [Syarh Lum'atil I'tiqaad al-Haadiy ila sabiilir Rasyad, hal : 8. Cet.Daarul Atsaar]

BERTANYA TENTANG BAGAIMANA ISTIWA'-NYA ALLAH ADALAH BID'AH

Jika mengingkari keberadaan Allah diatas Arsy adalah kekafiran menurut pendapat Imam Abu Hanifah, maka bertanya tentang bagaimana istiwa'nya Allah merupakan perkara bid'ah. Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah :

سأل الإمام مالك بن أنس رحمه الله فقيل : يا أبا عبد الله، «ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ» [طه : ٥]. كيف استوى؟ فقال : الاستواء غير مجهول، والكليف غير معقول، والأمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، ثم أمر بالرجل فأخرج.

"Telah ditanya Imam Malik bin Anas rahimahullah dan dikatakan : Wahai Abu Abdillah, «(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy» [Thoha : 5]

"Bagaimana istiwa'nya (Allah)? Imam malik berkata : Istiwa itu tidak majhul (maksudnya diketahui maknanya) dan bagaimananya itu diluar nalar (maksudnya tidak diketahui), beriman dengannya wajib, dan bertanya tentangnya bid'ah, kemudian beliau memerintahkan agar orang tersebut di keluarkan.

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin berkata dalam syarahnya :

سأل مالك فقيل : يا أبا عبد الله، «ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ» [طه : ٥]

كيف استوى؟ فقال رحمه الله : ((الاستواء غير مجهول)). أي : معلوم المعنى وهو العلو والاستقرار، ((والكليف غير معقول)). أي كيفية الاستواء غير مدركة بالعقل ؛ لأن الله تعالى أعظم وأجل من أن تدرك العقول كيفية صفاته، ((والأمان به)). أي : الاستواء ((واجب)) ؛ لوروده في الكتاب والسنة، ((والسؤال عنه)). أي : عن الكيف ((بدعة)) ؛ لأن السؤال عنه لم يكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه، ثم أمر بالسائل فأخرج من المسجد خوفا من أن يفتن الناس في عقيدتهم وتعزيزا له بمنعه من مجالس العلم

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ص : ٣٧. دار الآثار]

"Imam Malik ditanya dan dikatakan : Wahai Abu Abdillah, «(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy» [Thoha : 5]

"Bagaimana istiwa'nya (Allah)? Berkata Imam malik rahimahullah : ((Istiwa' itu tidak majhul)). Maksudnya : diketahui maknanya yaitu tinggi dan menetap, ((bagaimananya itu diluar nalar)). Yaitu : kaifiyah Istiwa', tidak diketahui oleh akal ; karena Allah Ta'ala Maha Agung dan Maha Suci dari pengetahuan akal-akal tentang kaifiyah sifat-Nya, ((beriman dengannya)). Yaitu : tentang Istiwa' ((wajib)) ; karena Istiwa' disebutkannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, ((bertanya tentangnya)). Yaitu : tentang kaifiyah Istiwa' ((bid'ah)) ; karena bertanya tentang Istiwa' tidak pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, kemudian Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan dari masjid karena khawatir akan menimbulkan fitnah bagi manusia terkait aqidah mereka, dan menindaklanjutinya dengan melarang orang tersebut dari majelis-majelis ilmu. [Lum'atul I'tiqaad Al-Haadi Ila Sabiilir Rosyad, hal : 37. Cet.Daarul Atsaar]

KABAR DARI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM WAJIB DI IMANI

Termasuk yang bisa menafikan keimanan adalah mengingkari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi aw sallam. Kewajiban kita menerima apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

«وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ»

Artinya : "Apa saja yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya". (QS. Al-Hasyr : 7)

Pada ayat yang lain Allah Ta'ala berfirman :

«فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًۭا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًۭا»

Artinya : "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. An-Nisaa' : 65).

Pada ayat yang pertama diatas, Allah memerintahkan kita untuk menerima apa saja yang datang dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kewajiban kita adalah tunduk menerimanya termasuk dalam hal ini hadits-hadits yang berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah, jangan menolaknya, jangan menta'wilnya, jangan mempermisalkannya serta tidak boleh menanyakan tentang kaifiyahnya.

Adapun pada ayat yang kedua, jika terjadi perselisihan diantara kaum muslimin dalam suatu permasalahan, maka kembalikan kepada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, jika tidak, maka Allah akan menghukumi kita sebagai orang-orang yang tidak beriman. Waliyaadzubillah.

TUNDUKKAN AKALMU DAN BUANG PENDAPATMU

Berhadapan dengan nash-nash yang shohih, maka akal kita harus tunduk terhadap nash-nash tersebut meskipun bertentangan dengan akal, telah datang beberapa atsar yang mengingatkan kita tentang hal ini.

1. Perkataan Ali bin Abu Tholib

((لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه

[النبذ في آداب طلب العلم، ص : ٦٠. مكتبة ابن القيم]

((Kalau seandainya agama ini akal, maka sungguh mengusap bagian bawah khuf (sepatu) lebih utama daripada mengusap bagian atasnya)). [An-Nubadz fii Aadaabi Tholabil 'Ilmi, (hal : 60). Maktabah Ibnul Qoyyim]

Bagi orang yang safar dengan syarat-syarat tertentu, boleh bagi dia berwudhu tanpa melepas khufnya (sepatunya). Ketika dia hendak membasuh kakinya ketika wudhu, cukup bagi dia mengusap bagian atas khufnya. Jika kita menggunakan akal, seharusnya yang diusap itu adalah dibagian bawah khuf karena dibagian itulah yang paling kotor, tapi ingat, tidak ada ruang bagi akal untuk menalar lebih jauh dalam masalah ini, cukup kita tundukkan saja akal kita terhadap nash-nash yang ada, begitu juga yang berkaitan dengan turunnya Allah ke langit dunia.

2. Perkataan Asy-Sya'bi

 ((ما حدثوك هؤلاء عن النبي صلى الله عليه وسلم فخذه، وما قالوه برأيهم فألقى في الحش))

[النبذ في آداب طلب العلم، ص : ٦٠.مكتبة ابن القيم]

"Apa-apa yang diriwayatkan kepadamu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ambillah, dan apa yang mereka ucapkan berdasarkan pikiran mereka maka lemparkan ucapan tersebut jauh-jauh." [An-Nubadz fii Aadaabi Tholabil 'Ilmi, (hal : 60). Maktabah Ibnul Qoyyim]

3. Perkataan Imam Ahmad

((لا تكاد ترى أحدا ينظر في الرأي الا وفي قلبه دغل، والحديث الضعيف أحب إلي من الرأي))

[النبذ في آداب طلب العلم، ص : ٦٠. مكتبة ابن القيم]

"Hampir-hampir tidak akan kamu dapatkan seseorang yang berpendapat berdasarkan akalnya, kecuali dalam hati orang ini ada penyakit, dan hadits yang lemah lebih aku cintai daripada (pendapat berdasarkan) akal" [An-Nubadz fii Aadaabi Tholabil 'Ilmi, (hal : 60). Maktabah Ibnul Qoyyim]

4. Perkataan Abdullah bin Imam Ahmad

سألت أبي عن الرجل يكون ببلد لا يجد فيها إلا صاحب حديث لا يدري صحيحه من سقيمه، وصاحب رأي ؛ فمن يسأل؟ قال ((يسأل صاحب الحديث، ولا يسأل صاحب الرأي)).

[النبذ في آداب طلب العلم، ص : ٦٠-٦١. مكتبة ابن القيم]

"Aku bertanya kepada ayahku tentang seorang laki-laki yang berada di suatu negeri yang dia tidak mendapati di negeri tersebut kecuali ahli hadits yang tidak mengetahui tentang shohihnya hadits dari penyakitnya (cacatnya) serta seorang yang mengedepankan akalnya ; kepada siapa dia harus bertanya? Berkata Imam Ahmad : ((Dia harus bertanya kepada ahli hadits tersebut, dan jangan bertanya kepada orang yang mengedepankan akalnya)). [An-Nubadz fii Aadaabi Tholabil 'Ilmi, (hal : 60-61). Maktabah Ibnul Qoyyim].

Bertanya kepada ahli hadits yang tidak mengetahui shohih tidaknya suatu hadits bukan hal yang baik, tapi masih lebih baik bertanya kepada ahli hadits tersebut daripada bertanya kepada orang yang mentuhankan akalnya menurut Imam Ahmad.

Berkata seorang penyair :

"Sesungguhnya akal-akal kalian tidak akan bisa menjangkau Allah 'Azza wa Jalla, karena akal-akal kalian terbatas pada dimensi tertentu.
Yang terpenting bagi kalian adalah tunduk terhadap dalil-dalil yang ada sebagai bentuk keimanan kalian kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang menolak sifat-sifat Allah setelah jelas baginya, maka dia telah menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah serta kesepakatan salaf.
Tidaklah mereka ini melainkan seperti orang yang berjalan di malam hari tanpa rembulan, di tengah hutan yang gelap, di dalam gua yang tak bercahaya.
Seperti inilah perumpamaan bagi pengekor hawa nafsu, dia tersesat dengan kesesastan yang nyata."

Semoga tulisan ini bermanfaat.

 

***
Dompu-Nusa Tenggara Barat : 28 Rojab 1442 H/12 Maret 2021

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy
Artikel : Meciangi-d.blogspot.com


Related Posts:

0 Response to "IMAM ABU HANIFAH MENGKAFIRKAN ORANG YANG MENOLAK ALLAH DIATAS ARSY"

Post a Comment