Bismillah, alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.
Abu Tholib merupakan tokoh Quraisy yang terhormat lagi terpandang ditengah kaumnya dan ia merupakan paman yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Abu Tholib telah merawat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sepeninggal kakeknya hingga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah radhiyallahu 'anha.
Sebagai paman, Abu Tholib sangat mengenal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan ia sangat mencintainya dan mengakui kebenaran ajaran yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bawa.
Sebenarnya Abu Tholib hatinya telah beriman kepada Allah dan risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun karena kemuliaan dan ketokohannya ditengah kaumnya, ia malu menampakkan keimanannya tersebut dan enggan mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya diakhir hayatnya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin pernah membawakan syair-syair Abu Tholib dalam kitabnya Ushuul fiit-Tafsiir atau dalam kitabnya Syarh Al-Arba'iin an-Nawawiyyah yang menunjukkan kepada kita tentang bagaimana keimanan Abu Tholib kepada risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salam ketika itu, berkata Abu Tholib :
"Dan sungguh mereka telah tahu bahwasanya anak kami (Muhammad) bukanlah pendusta.
Pada kami tidak diinginkan perkataan yang batil tersebut."
Abu Tholib juga mengatakan :
Pada syair pertama, Abu Tholib mengatakan bahwa kaum Quraisy sudah tahu bahwa keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam bukan pendusta, di pihak Abu Tholib sendiri mereka tidak ingin ikut-ikut mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pendusta sebagaimana yang diucapakan oleh kaum Quraisy, karena Abu Tholib meyakini bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar.
Pada syair kedua, Abu Tholib telah mengumumkan bahwa dia telah mengetahui bahwa agama yang dibawa oleh keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam adalah sebaik-baik agama diatas hamparan padang pasir ketika itu. Seandainya bukan karena takut dicela dan dicaci oleh kaumnya, pasti dia akan menerima agama Islam dengan nyata.
Dari syair diatas, Abu Tholib sejatinya telah beriman kepada risalah kenabian pada satu sisi, tapi disisi lain ia takut akan cercaan kaumnya apabila menerima risalah kenabian tersebut. Karena itu, meskipun Abu Tholib telah beriman hatinya, tapi ia tidak bisa dikatakan muslim meskipun karena ia tidak mau mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallah. Bahkan Abu Tholib termasuk orang-orang musyrik yang mati diatas kekafiran, dan itulah makna ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin :
ومع ذلك لم يهتد مع حرص النبي - صلى الله عليه وسلم - على هدايته، فمات على الكفر، وقد حضره النبي صلى الله عليه وسلم وهو في سياق الموت، فقال : ((يا (أي) عم، قل : (لا إله إلا الله) كلمة أحاج لك بها عند الله))، ولكنه لم يقل ذلك، وكان آخر ما قال : إنه على ملة عبد المطلب، فمات على الكفر -والعياذ بالله-
[شرح أصول في التفسير، ماؤسسة الشيخ محمد بن صالح العثيمين، ص ٢٤]
"Bersamaan dengan itu (yakni adanya keimanan Abu Tholib terhadap risalah kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak lantas membuat Abu Tholib mendapatkan petunjuk meskipun Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- menginginkan ia diatas hidayah-Nya, bahkan justru ia mati diatas kekafiran. Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah hadir menjelang kematian Abu Tholib dan bersabda : ((Wahai pamanku, katakan laailaaha illallah suatu kalimat yang aku akan membela engkau dengannya dihadapan Allah)), akan tetapi ia tidak mau mengucapkan itu, dan yang menjadi akhir ucapannya yaitu : Bahwasanya ia berada diatas agama Abdul Muththolib, maka dia-pun mati diatas kekafiran -waliyaadzubillah-. [Syarh Ushuul fiit Tafsiir, hal. 24. Cet. Muassassah Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin]
Betapa malang nasib Abu Tholib, hatinya sangat percaya dengan kerasulan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tapi karena rasa malu dan takut akan dicela oleh kaumnya, akhirnya ia enggan mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallah dan mati diatas agama Abdul muththolib.
Sifat malunya Abu Tholib adalah malu yang tercela, karena bukan pada tempatnya, ditambah dengan hasutan musuh Allah Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, semakin menjauhkan Abu Tholib dari keimanan yang sejati. Dan akhirnya, ia-pun mati dalam keadaan kafir, waliyaadzubillah.
Faedah yang bisa diambil :
1. Hidayah ada di tangan Allah
2. Malu bisa menghalangi hidayah
3. Bergaul dengan teman yang buruk dapat menyesatkan seseorang dari kebenaran meskipun kebenaran sudah ada di depan matanya
4. Abu Tholib termasuk orang yang beriman kepada risalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun imannya hanya sebatas pada ucapan hatinya, tidak diucapkan dengan lisannya dengan bersyahadat. Padahal iman itu tempatnya di hati, lisan dan anggota badan, bukan cuma di hati.
5. Abu Tholib adalah tokoh kaum Quraisy yang paling dihormati dan disegani, sehingga pembelaan Abu Tholib kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga dan dan terlindungi dari gangguan orang-orang musyrik Quraisy selama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berada di kota Makkah ketika itu
6. Kuatnya pembelaan Abu Tholib kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan besarnya rasa cinta Abu Tholib kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
7. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bisa memberikan hidayah taufik kepada siapapun, termasuk kepada pamannya Abu Tholib yang sangat beliau cintai, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :
«إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ»
Artinya : "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al-Qoshosh : 56)
8. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bisa memberikan hidayah irsyad wal bayan kepada orang lain, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :
«وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ»
Artinya : "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syro : 52)
9. Orang yang mati diatas kekafiran meskipun itu karib kerabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tempat kembalinya adalah Neraka Jahannam dan tidak boleh didoakan ampunan bagi mereka sedikitpun, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :
«مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَحِيمِ»
Artinya : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah : 113)
10. Keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam langsung atau yang mengaku sebagai keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, hal itu tidak bisa menjamin orang itu masuk Surga, karena timbangan Surga Neraka adalah keimanan dan amalan sebagaimana firman Allah :
«ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ»
Artinya : "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk : 2)
11. Nasab yang mulia tidak bisa menjamin dan menyelamatkan seseorang dari adzab Allah jika dia kafir
12. Wajibnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
13. Pentingnya tauhid
***
Dompu, 7 Rabiul Awwal / 24 Oktober 2020
Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy
Artikel : Meciangi-d.blogspot.com
0 Response to " SYAIR ABU THOLIB #1"
Post a Comment