SYAIR ABU THOLIB #1

Bismillah, alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.

Berbicara tentang Abu Tholib, dia merupakan tokoh Quraisy dan paman yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebenarnya Abu Tholib hatinya telah beriman kepada Allah dan risalah yang dibawa oleh keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun karena malu kepada kaumnya dan takut dicela oleh mereka, diapun enggan mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya.

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin pernah membawakan syair-syair Abu Tholib dalam kitabnya Ushuul fii At-Tafsiir atau dalam kitabnya Syarh Al-Arba'iin an-Nawawiyyah yang menunjukkan kepada kita tentang bagaimana keimanan Abu Tholib kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam ketika itu, berkata Abu Tholib :

لقد علموا أن ابننا لا مكذب
لدينا ولا يعنى بقول الأباطيل

: وقال
ولقد علمت بأن دين محمد 
من خير أديان البرية دينا
لولا الملامة أو حذاري سبة
لوجدتني سمحا بذلك مبينا
[شرح أصول في التفسير، ماؤسسة الشيخ محمد بن صالح العثيمين، ص ٢٣]

"Dan sungguh kalian telah mengetahui bahwasanya anak kami (Muhammad) bukan pendusta. Dan disisi kami tidak dikehendaki (untuknya) perkataan yang batil tersebut."

Abu Tholib juga berkata :

"Dan sungguh aku tahu bahwasanya agama Muhammad adalah sebaik-baik agama di gurun pasir ini. Kalaulah bukan karena cacian dan takut akan cercaan, sungguh kamu akan mendapatiku mudah menerima hal itu dengan nyata." [Syarh Ushuul fiit Tafsiir, hal. 23. Cet. Muassassatu Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin]

Pada syair pertama, Abu Tholib mengatakan bahwa keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam bukan pendusta, artinya ia mempercayai apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Pada syair kedua, ia mengumumkan bahwa agama yang dibawa oleh keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam adalah sebaik-baik agama diatas hamparan padang pasir arab, seandainya bukan karena takut akan celaan dan cacian kaumnya, dia pasti akan menerima agama Islam dengan nyata. 

Dari syair diatas, Abu Tholib beriman kepada risalah kenabian pada satu sisi, tapi disisi lain ia takut akan cercaan kaumnya apabila ia menerima risalah kenabian tersebut. Karena itu ia tidak bisa dikatakan muslim meskipun hatinya beriman, bahkan ia termasuk orang-orang musyrik yang mati diatas kekafiran, karena ia menolak mengucapkan laa ilaaha illallah di akhir hayatnya, dan itulah makna ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin :

ومع ذلك لم يهتد مع حرص النبي - صلى الله عليه وسلم - على هدايته، فمات على الكفر، وقد حضره النبي صلى الله عليه وسلم وهو في سياق الموت، فقال : ((يا (أي) عم، قل : (لا إله إلا الله) كلمة أحاج لك بها عند الله))، ولكنه لم يقل ذلك، وكان آخر ما قال : إنه على ملة عبد المطلب، فمات على الكفر -والعياذ بالله-

[شرح أصول في التفسير، ماؤسسة الشيخ محمد بن صالح العثيمين، ص ٢٤]

"Bersamaan dengan hal itu (yaitu adanya keimanan Abu Tholib terhadap risalah kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak lantas membuat Abu Tholib mendapatkan petunjuk meskipun Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- menginginkan ia diatas hidayah-Nya, bahkan justru ia mati diatas kekafiran. Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah hadir menjelang kematian Abu Tholib dan bersabda : ((Wahai pamanku, katakan laailaaha illallah suatu kalimat yang aku akan membela engkau dengannya dihadapan Allah)), akan tetapi ia tidak mau mengucapkan itu, dan yang menjadi akhir ucapannya yaitu : Bahwasanya ia berada diatas agama Abdul Muththolib, maka dia-pun mati diatas kekafiran -waliyaadzubillah-. [Syarh Ushuul fiit Tafsiir, hal. 24. Cet. Muassassatu Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin]

Betapa malang nasib Abu Tholib, hatinya sangat percaya dengan kerasulan keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tapi karena rasa malu dan takut dicela oleh kaumnya, akhirnya ia-pun enggan mengucapkan laa ilaaha illallah dan mati diatas agama Abdul muththolib

Malunya Abu Tholib bukan pada tempatnya, ditambah dengan hasutan musuh Allah Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah semakin menjauhkan Abu Tholib dari keimanan yang sejati. Dan akhirnya, ia-pun mati dalam keadaan musyrik, waliyaadzubillah. Dan akan datang pembahasan lanjutan tentang permasalahan ini, insya Allah.

Faedah yang bisa diambil :

1. Hidayah ada di tangan Allah

2. Malu bisa menghilangkan hidayah

3. Bergaul dengan teman yang buruk dapat menyesatkan seseorang dari kebenaran meskipun kebenaran sudah ada di depan matanya

4. Abu Tholib termasuk orang yang beriman kepada risalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun imannya tersebut hanya sebatas pada ucapan hatinya saja, tidak diucapkan dengan lisannya, sedangkan Iman itu tempatnya di hati, lisan dan anggota badan, bukan cuma di hati atau di lisan atau di anggota badan saja

5. Abu Tholib adalah tokoh kaum Quraisy yang paling dihormati dan disegani, sehingga pembelaan Abu Tholib kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga dan dan terlindungi dari gangguan orang-orang musyrik Quraisy selama beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berada di kota Makkah

6. Kuatnya pembelaan Abu Tholib kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan besarnya rasa cinta Abu Tholib kepada keponakannya 

7. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bisa memberikan hidayah taufik kepada siapapun, termasuk kepada pamannya Abu Tholib yang sangat beliau cintai, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :

«إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ»

Artinya : "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (Al-Qoshosh : 56)

8. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bisa memberikan hidayah irsyad wal bayan kepada orang lain, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :

«وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ»

Artinya : "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syro : 52)

9. Orang yang mati diatas kekafiran meskipun itu karib kerabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tempat kembalinya adalah Neraka Jahannam dan tidak boleh didoakan ampunan bagi mereka sedikitpun, dan itulah makna firman Allah Ta'ala :

«مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَحِيمِ»

Artinya : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah : 113)

10. Keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam langsung atau yang mengaku nasabnya bersambung dengan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, hal itu tidak bisa menjamin ia masuk Surga, karena timbangan Surga Neraka adalah keimanan dan amalan

11. Nasab yang mulia tidak bisa menjamin dan menyelamatkan seseorang dari adzab Allah jika dia kafir

12. Wajibnya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

13. Pentingnya tauhid


Related Posts:

0 Response to " SYAIR ABU THOLIB #1"

Post a Comment