KISAH SEORANG PENUNTUT ILMU BERSAMA GURUNYA


Ketika dia mulai memancangkan kakinya untuk menuntut ilmu, dia merasa putus asa adakah cahaya? Gelapnya kejahilan dan kebodohan masa silam membuatnya berpikir, apa bisa saya belajar agama? Lalu mulailah dia menjelajahi majelis ilmu di Kota Yogyakarta, dan yang pertama dia pelajari adalah pelajaran Nahwu, yaitu cabang dari ilmu bahasa arab. 

Hari pertama dia membuka kitabnya, muncullah istilah dommah, fathah, kasroh, dia bergumam apa ini? Kemudian muncul lagi istilah baru yaitu marfu, mansub, majrur, membuat dia semakin bingung apa pula itu? Lantas disusul pula oleh istilah rofa, nashob, jar, semakin membuatnya tak mengerti, betapa gelapnya bahasa arab itu, seolah hutan yang gelap dan lebat baginya. Akhirnya dia terombang ambing dalam keraguan dan kebimbangan antara dua pilihan, lari atau terus bertahan. Maka diapun memilih bertahan. 

Sejak pilihan itu diambil, diapun mulai mempelajarinya, mencoba memahaminya, namun ia merasa belajar bahasa arab seolah dibawa masuk ke sebuah hutan yang gelap, kebingungan tapi terarah karena dia dibimbing dengan sabar oleh seorang guru.

Sang guru memandangnya penuh rahmat, dan berkata, "Baarakallahu fiik". Ucapan itu membuatnya tenang dan membuatnya seolah  didoakan kebaikan. Lalu kemudian, untuk memperkokoh perjalanannya menuju hutan Nahwu, dia mematahkan setiap ranting pohon yang dilewati, agar jika sang guru melepaskannya seorang diri di tengah hutan dia bisa mencari jalan pulang. 

Hari demi hari, cahaya mulai menerangi hatinya, apa itu marfu, mansub, majrur bukan hal yang asing lagi baginya. Apalagi istilah rofa, nasob, jar bahkan sudah menjadi teman setia. Hingga muncullah istilah mubtada khobar, fiil fail, fiil naibul fail semua menambah runyam. Dia berpikir, lari atau bertahan? Lalu mengulangi pertanyaan itu dalam dirinya. Kemudian dia mencoba memilih bertahan. Sang guru menatapnya dengan rahmat dan cinta, kemudian dia berkata, "Baarakallahu fiik", doa yang senantiasa membuatnya bertahan meskipun berat, karena diruangan itu ; tujuh belas teman-temannya tidak henti-hentinya mentertawakannya. Hingga sang guru-pun marah lalu memukul papan tulis dengan keras dan berkata: "Jangan kalian mentertawakannya, saya berharap semoga Allah menjadikan dia orang yang paling berilmu diantara kalian suatu saat nanti". Sebuah doa yang indah, yang membuat teman-temannya terdiam dari tawa cemoohannya. 

Hingga hari berlalu berganti bulan dan tahun, delapan belas orang yang belajar satu persatu mulai tumbang dan berguguran. Ibarat dedaunan di musim gugur, sebatang pohon yang tertiup angin, dia akan menggugurkan daun-daunnya dan menyisakan yang paling kokoh dan paling sabar. Ibzrst dedaunan, dari delapan belas penuntut ilmu yang belajar, tersisa hanya tiga orang disamping sang guru hingga selesai tiga jilid kitab, termasuk diantaranya dia.

Kemudian mubtada khobar, fiil fail, fiil naibul fail dan sebagainya menjadi kekasih yang senantiasa disebut-sebutnya. Dia berkata : "Dhoroba alfi'lul maadhi mabniyyun 'alal fathi. Wa Zaidun  fa'ilun marfuu'un wa 'alaamatu raf'ihi ad-dhommatu ad-dzooohirah liannahu ismul mufrod.

Satu jenjang dia lewati, doa demi doa dari sang guru terkumpul menjadi sebuah kekuatan, menjadi sebuah tekad, menjadi sebuah kecerdasan. Hingga akhirnya sang guru membawanya ke puncak pegunungan, bukan lagi di lembah yang curam. Lalu  kemudian sang guru meninggalkannya dengan memberinya sebuah peta, yang dengan peta tersebut dia tidak akan tersesat. Peta itulah kitab yang dia pelajari. 

Hari demi hari berlalu tanpa sia-sia, dia semakin semangat dan semakin mencintai bahasa arab itu, khususnya ilmu Nahwu. Hingga tiba saatnya sang guru harus pergi untuk selamanya. Sang guru berkata : "Belajarlah lebih giat, aku berharap Allah akan memberikanmu pemahaman yang dalam tentang ilmu ini."

Guru-nya pun pergi dan takkan pernah kembali, tertinggal bersamanya doa-doa yang masih terngiang-ngiang di telinganya. 

Dalam sebuah perjalanan, dia menempuh rute perjalanan menuju tempat tinggal sang guru, dan baru hari itu dia menapaki jalan tersebut. Air matanya mulai menetes. Betapa jauhnya jarak yang harus tempuh gurunya untuk mengajarkannya. Air matanya terus menetes, lalu dia berkata dalam hatinya: "Engkau bersungguh-sungguh mengajariku wahai guru, sedangkan  aku selalu bermain-main dan bahkan mengabaikan." Demi Allah dia baru menyadari betapa semangat dan bersungguh-sungguhnya sang guru sedangkan dia di majelisnya selalu bermain-main dan mengabaikan. Sungguh diapun mulai mengerti betapa jalan-jalan itu menjadi saksi betapa besar rahmah dan kesungguhan gurunya dalam mengajarinya serta doa-doanya. 

Demi mengingat jejak-jejak peninggalan gurunya dan doa-doanya, dia lalu membuka lembaran-lembaran kitab yang ditinggalkan gurunya, didalamnya terdapat coretan-coretan indah penuh makna. Dimana tertulis, marfu = rofa =, mansub = nashob, majrur = jar. Lalu disudut-sudutnya tertulis, mubtada khobar, fiil dan fail, fiil naibul fail bahkan tertulis badal dan lain sebagainya, lalu coretan-coretan itu menjadi kenangan terindah bahkan lebih indah baginya dari risalah cinta sang kekasih. Kemudian dia bertekad dan berkata : "Aku harus menjadi nahwiyyuun (ahli nahwu)   dan aku harus membanggakan guruku, meskipun dia telah tiada. 

Beberapa tahun-pun berlalu, datanglah salah seorang dari delapan belas orang yang bermajelis dengannya ketika itu dan meminta kepadanya untuk mengajarkannya ilmu nahwu.  Ia terdiam, ia teringat dengan doa-doa gurunya, ternyata Allah telah mengabulkan doanya.

Faedah yang bisa diambil :

1. Jangan mudah menganggap remeh teman kita yang baru belajar dan belum faham tentang satu cabang ilmu di kelas, karena Allah akan melihat pada banyak sisi ; pada niat, tekad serta kesungguhannya, dll. 

2. Cerdas tapi tidak punya tekad, yang seperti ini akan berjalan di tempat, akan tetapi "bodoh" tapi punya tekad membara, kesungguhan dan niat yang ikhlas, maka dia akan keluar dari kejahilan, menjadi yang paling cerdas dan mengalahkan yang lainnya.

3. Ilmu tidak hanya didapatkan dari modal kecerdasan semata, banyak sisi yang akan menentukan suksesnya penuntut ilmu, sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

أخي لن تنال العلم إلا بستة سأنبيك عن تفاصيلها ببيان : ذكاء، وحرص، واجتهاد، وبلغة، وصحبة أستاذ، وطول زمان.

"Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara yang akan saya ceritakan dengan jelas perinciannya : (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) kecukupan (harta), (5) dengan bimbingan guru, (6) lama waktunya." [Diwan Asy-Syafi'i, hal.116]

4. Guru adalah teladan, yang mendoakan kebaikan bagi murid-muridnya bukan mencela dan meremehkannya

5. Perjuangan seorang guru dalam mengajarkan murid-muridnya sangat besar, terkadang hal seperti ini jarang disadari oleh para penuntut ilmu, sehingga hal seperti ini sering menjadikan para penuntut ilmu tidak pandai menghormati gurunya

6. Kecerdasan milik Allah, dan Allah bisa menyelipkan kecerdasan itu dihati siapapun jika dia bersungguh-sungguh dalam belajar, bersabar ; sebagaimana kisah Imam al-Kisa'i dengan seekor semut.

7. Pentingnya kesabaran dalam menuntut ilmu

8. Berkahnya doa seorang guru

***

Dompu, 20 Dzulqo'dah 1440 H/24 Juli 2019

Penulis : Abu Dawud ad-Dompuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com


Related Posts:

4 Responses to "KISAH SEORANG PENUNTUT ILMU BERSAMA GURUNYA"

  1. Masya ALLAH kisahnya sangat terharu sekali ustad... jazaakallahu khoiran wa baarokallaahufiik. semoga Allah menjaga antum dan menjadikan amal dan dan ilmu antum menjadi pahala jariyah yg terus mengalir... Allaahumma Aamiin.

    ReplyDelete
  2. Ma sya Allah, semoga kita menjadi ahli nahwu juga dengan menempuh perjalanan jauh di malam gelap gulita

    ReplyDelete