IITSAAR DALAM IBADAH ADALAH MAKRUH

Bismillah. Alhamdulillah. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.p

Tradisi di negeri kita kadang ga enakan, meskipun dalam masalah ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam urusan ibadah, seharusnya dahulukan diri sendiri daripada orang lain.

Sebuah qoidah mengatakan :

الإيثار بالقرب مكروه

"Mendahulukan orang lain daripada dirinya dalam masalah ibadah hukumnya makruh."

Dalil dari qoidah ini sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shohih : 

((لا يزال قوم يتأخرون حتى يأخرهم الله تعالى))

"Senantiasa suatu kaum menunda-nunda (suatu urusan) hingga Allah Ta'ala akan mengakhirkan (urusan mereka)." [Iidhooh al-Qowaaid al-Fiqhiyyah, 109].

Iitsaar secara bahasa maknanya mengutamakan dan mendahulukan, sebagaimana firman Allah Ta'ala

«لَقَدْ ءَاثَرَكَ ٱللَّهُ عَلَيْنَا»

Artinya : "Sungguh Allah telah melebihkan kamu atas kami." (QS. Yusuf : 91)

Adapun secara syar'i : mendahulukan orang lain daripada dirinya dalam masalah mendekatkan diri kepada Allah atau dalam masalah ibadah.

Contoh kasus, seseorang mendahulukan orang lain dalam masalah keutamaan shaf pertama, atau dalam masalah menutup aurat atau dalam hal menggunakan air wudhu, para ulama mengatakan, mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah hukumnya makruh karena dia telah meninggalkan pemuliaan dan pengagungan kepada Allah.

Berkata Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuuthi atau yang lebih dikenal dengan Imam as-Suyuuthi :

وقال الإمام : لو دخل الوقت -ومعه ماء يتوضأ به- فوهبه لغيره ليتوضأ به، لم يجز، لا أعرف فيه خلافا، لأن الإيثار : إنما يكون فيما يتعلق بالنفوس، لا فيما يتعلق بالقرب، والعبادات.

وقال في شرح المهذب، في باب الجمعة : لا يقام أحد من مجلسه ليجلس في موضعه، فإن قام باختياره، لم يكره، فإن انتقل إلى أبعد من الإمام كره.

قال أصحابنا :لأنه آثار بالقربة.

وقال الشيخ أبو محمد في الفروق : من دخل عليه وقت الصلاة، ومعه مايكفيه لطهارته، وهناك من يحتاجه لالطهارة، لم يجز له الإيثار.

لو أراد المضطر : إيثار غيره بالطعام، لاستبقاء مهجته، كان له ذلك، وإن خاف فوات مهجته. 

والفرق : أن الحق في الطهارة لله، فلا يسوغ فيه الإيثار، والحق في حال المخمصة لنفسه. 

وقد علم أن المهجتين على شرف التلف إلا واحدة تستدرك بذلك الطعام، فحسن إيثار نفسه على نفسه.

"Berkata Imam al-Juwaini : 'Seandainya telah masuk waktu (sholat) -dan bersama seseorang ada air yang dia bisa gunakan untuk berwudhu, lalu dia berikan air itu kepada orang lain agar ia berwudhu dengannya, hal itu tidak diperbolehkan. Sungguhnya  aku mengetahui dalam hal ini tidak ada khilaf. Karena Sesungguhnya iitsaar :  ia hanya terjadi pada apa yang berkaitan dengan urusan pribadi, tidak pada yang berkaitan dengan urusan mendekatkan diri kepada Allah dan dalam perkara ibadah.'" 

Imam al-Juwaini juga mengatakan dalam syarh al-Muhadzab, pada bab sholat jum'at : 'Janganlah seseorang diberdirikan dari tempat duduknya agar ia bisa duduk ditempat orang tersebut, apabila ia berdiri karena keinginannya, maka hal tersebut tidak dibenci. Apabila ia berpindah menjauhi Imam, maka hal tersebut dibenci.'

Berkata sahabat kami (yakni, ulama Syafi'iyyah) : Sesungguhnya hal itu termasuk iitsaar.

Berkata asy-Syaikh Abu Muhammad dalam al-Furuuq : 'Siapa yang masuk padanya waktu sholat, sedangkan bersamanya ada sesuatu yang mencukupi dia untuk bersuci, sedangkan disana ada seseorang yang membutuhkan sesuatu itu untuk bersuci, maka tidak boleh bagi orang ini untuk iitsaar.

Seandainya orang yang tertimpa kesulitan menginginkan : iitsaar untuk orang lain dalam hal makanan untuk menjaga jiwa orang tersebut, menjadi  kewajiban dia untuk melakukannya jika dia khawatir akan hilangnya nyawa orang tersebut.

Perbedaannya : Yang benar dalam masalah thoharoh adalah, untuk Allah, tidak boleh dalam masalah ini iitsaar , sedangkan yang benar ketika kondisi kelaparan adalah, untuk dirinya (yakni ; boleh bagi dia mendahulukan orang lain daripada dirinya)." [Al-Asybaah wan-Nadzaair, hal.116].

Berkata Syaikh 'Izzuddin :

لا إيثار في القربات، فلا إيثار بماء الطهارة، ولا بستر العورة، ولا بالصف الأول؛ لأن الغرض بالعبادة التعظيم والإجلال، فمن آثر به فقد ترك إجلال الله وتعظيمه.

"Tidak boleh iitsaar dalam masalah ibadah, dan tidak boleh iitsaar dalam masalah air untuk bersuci, dan tidak boleh iitsaar dalam hal menutup aurat, demikian juga dalam masalah shof pertama, karena tujuan ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan. Barangsiapa yang lebih menyukai hal tersebut, maka sungguh dia telah meninggalkan pemuliaan terhadap Allah dan pengagungan kepada-Nya." [Iidhooh al-Qowaaid al-Fiqhiyyah, hal. 109].

Berkata al-Khatiib al-Baghdaadiy dalam Al-Jaami' :

كره قوم إيثار الطالب غيره بنوبته في القراءة ؛ لأن قراءة العلم والمسارعة إليه قربة، والإيثار بالقرب مكروه. 

 "Suatu kaum (yakni, asy-Syafi'iyyah) membenci penuntut ilmu yang mendahulukan orang lain ketika giliran dia membaca (kitab/ilmu) ; karena membaca ilmu (kitab) dan bersegera kepadanya adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan iitsaar dalam perkara mendekatkan diri kepada Allah adalah makruh." [Al-Asybaah wan-Nadzaair, hal.117].

Berkata Imam asy-Syuyuthi : 

وقد جزم بذلك النووى في شرح مهذب، وقال في شرح مسلم : الإيثار بالقرب مكروه أو خلاف الأولى، وإنما يستحب في خطوط النفس وأمور الدنيا.

"Dan sungguh an-Nawawi telah menetapkan hal itu dalam syarh al-Muhadzab, dia berkata dalam syarah shohih Muslim : "Iitsaar dalam masalah ibadah hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, hanya saja iitsaar itu dicintai dalam urusan pribadi dan dalam perkara-perkara dunia." [Al-Asybaah wan-Nadzaair, hal.116].

Apakah Mendahulukan Orang Lain Dalam Masalah Ibadah Haram?

Berkata az-Zarkasyi : 

 كلام الإمام ووالده أبي محمد الجويني رحمهما الله تعالى يقتضي أن الإيثار بالقرب حرام. 

Ucapan Imam (al-Juwainiy) dan anaknya yakni Abu Muhammad al-Juwainiy rahimahumallahu Ta'ala yang menetapkan bahwa mendahulukan orang lain daripada dirinya dalam perkara mendekatkan diri kepada Allah hukumnya haram." [Al-Asybaah wan-Nadzaair, hal.117].

Ucapan Imam al-Juwainiy dan putra beliau rahimahumallah diatas iitsaar dalam masalah ibadah hukumnya haram, namun para ulama mengatakan iitsaar dalam masalah ibadah harus dirinci, dan kesimpulannya ada tiga : (1) Iitsaar itu dibenci, (2) menyelisihi yang lebih utama, (3) haram.

Berkata Abdullah Ibnu Sa'id dalam Iidhooh menjelaskan ucapan Imam asy-Syuyuthi dalam Al-Asybaah wan Nadzaair yang menyangkal ucapan Imam al-Juwainiy dan putra beliau Abu Muhammad al-Juwainiy rahimahumallahu Ta'ala diatas dengan menyebutkan kesimpulan yang rinci sebagai berikut :

أن الإيثار إن أدى إلى ترك واجب، كماء الطهارة وستر العورة، ومكان الجماعة الذي لا يمكن أن يصلي فيه أكثر من واحد، ولا تنتهي النوبة لآخرهم إلا بعد خروج الوقت، وأشباه ذلك ؛ فهو حرام

وإن أدى إلى ترك السنة أو ارتكاب مكروه فهو مكروه 

مثال ترك السنة : الإيثار بسد الفرجة في الصف الأول، ومثله الإيثار بالصف الأول بالقيام منه لغيره، كذا قالوا، وظاهر إطلاقهم أنه لا فرق بين الأفضل وغيره.

ومثال ارتكاب المكروه : التطهر بالماء المشمس، ويؤثر غيره بغير المشمس

وإن أدى إلى ارتكاب خلاف الأولى مما ليس فيه نهي مخصوص فخلاف الأولى، قال : وبهذا يرتفع الخلاف

Bahwasannya iitsaar jika mengakibatkan seseorang meninggalkan perkara wajib, seperti air untuk bersuci, menutup aurat, tempat sholat berjama'ah yang tidak mungkin sholat ditempat itu lebih dari satu orang, dan tidak boleh kesempatan itu diberikan kepada selainnya kecuali setelah keluarnya waktu. Dan menyerupai hal itu ; hukumnya haram. 

Namun jika iitsaar yang mengakibatkan seseorang meninggalkan perkara yang sunnah atau melakukan yang makruh maka hukumnya makruh.

Contoh meninggalkan sunnah yaitu : iitsaar dalam menutup celah pada shof pertama, contohnya mendahulukan orang lain berdiri di shof pertama daripada dirinya, demikian juga yang telah mereka (yakni, asy-Syafi'iyyah) katakan, dan yang nampak mereka memutlakkan bahwa tidak ada bedanya antara yang lebih utama dengan yang selainnya.

Adapun contoh melakukan yang makruh yaitu : bersuci dengan air yang dipanaskan matahari, dia mendahulukan orang lain dengan air yang tidak dipanaskan oleh matahari. 

Namun jika iitsaar mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan menyelisihi yang lebih utama pada yang didalamnya tidak ada  larangan yang dikhususkan, maka itu termasuk khilaaful aula. Berkata asy-Syuyuthi : dengan penjelasan ini khilafpun terangkat." [Iidhooh al-Qowaaid al-Fiqhiyyah, hal. 110].

Mundur ke Shof Belakang

Bagaimana dengan orang yang mendapatkan shof pertama lalu ditarik kebelakang untuk menemani makmum lain yang sendirian di shof belakang? Imam asy-Syuyuthi mengatakan bahwa pahala shof pertamanya hilang :

من المشكل على هذه القاعدة مسألة من جاء ولم يجد في الصف فرجة، فإنه يجر شخصا بعد الإحرام، ويندب للمجرور أن يساعده، فهذا يفوت على نفسه قربة، وهي أجر الصف الأول.

"Diantara yang samar dari qoidah ini sebuah permasalahan ; siapa yang datang namun tidak mendapatkan celah di shof (sholat), lalu dia menarik seseorang setelah takbiratul ihram, dianjurkan bagi yang ditarik agar menolongnya. Namun terlewatkan bagi dirinya ketaatan, yaitu pahala shof pertama." [Al-Asybaah wan-Nadzaair, hal.117].

Namun permasalah diatas dijawab oleh Syaikh Abdullah Ibnu Sa'id dalam Iidhooh, beliau mengatakan : 

 وأجيب عنه بأن فضيلة المعاونة على البر جبرت نقص فوات الصف الأول كما أشار له ابن حجر في فتح الجواد حيث قال : (يسن للمجرور مساعدته ؛ لينال فضيلة المعاونة على البر والتقوى، وذلك يعدل فضل ما فاته من الصف الأول). وفي التحفة : (وليساعده المجرور ندبا ؛ لأن فيه إعانة مع البر على حصول ثواب صفه لأنه لم يخرج منه إلا لعذر). انتهى.

"Saya akan menjawab (pendapat)nya, bahwasannya keutamaan tolong-menolong dalam kebaikan, akan menambal yang telah luput dari mendapatkan shof pertama sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Jawaad ketika  ia mengatakan : (Disunnahkan bagi yang ditarik untuk menolongnya ; agar dia mendapatkan keutamaan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, dan hal itu akan memperbaiki apa yang telah luput darinya berupa keutamaan shof pertama). Dalam at-Tuhfah : (Hendaknya yang ditarik menolongnya sambil memenuhi hajatnya ; karena  dalam hal ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan agar dia mendapatkan kembali pahala shofnya, karena sesungguhnya dia tidak keluar dari shof tersebut kecuali karena udzur). Selesai. [Iidhooh al-Qowaaid al-Fiqhiyyah, hal. 110].

Faedah yang bisa diambil :

1. al-Iitsaar bilqurbi makruuh yakni mendahulukan orang lain daripada dirinya dalam masalah ibadah adalah makruh

2. Al-Iitsaar bilqurbi masuk didalamnya beberapa permasalahan iitsaar dalam masalah air wudhu, menutup aurat, shof pertama, sengaja berpindah tempat duduk menjauhi imam ketika sholat jum'at, membaca kitab dan iitsaar masalah menggunakan air wudhu yang dipanasi matahari dan seterusnya, karena tujuan ibadah adalah mengagungkan Allah, jika terjadi iitsaar berarti kita meninggalkan pemuliaan kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya

3. Iitsaar dalam perkara-perkara dunia dan dalam urusan pribadi hukumnya boleh bahkan dicintai, seperti mendahulukan orang lain dalam masalah makanan ketika nyawanya terancam, bahkan hal itu menjadi wajib pada satu keadaan 

4. Iitsaar dalam masalah ibadah menurut Imam al-Juwainiy adalah haram, namun yang tepat menurut ulama syafi'iyyah lainnya harus dirinci. Kesimpulannya, iitsaar dalam masalah ibadah ada tiga : (1) makruh, (2) menyelisihi yang lebih utama, (3) haram

5. Iitsaar yang haram yaitu  iitsaar yang menyebabkan seseorang meninggalkan perkara yang wajib. Contoh mendahulukan orang lain dalam masalah air untuk berwudhu, shof pertama, menutup aurat, membaca kitab, sengaja berpindah tempat duduk menjauhi imam ketika sholat jum'at  dan selain dari itu

6. Iitsaar yang makruh yaitu iitsaar yang menyebabkan seseorang meninggalkan perkara yang sunnah atau melakukan perkara yang makruh. Hukum iitsaar ini adalah makruh. Contoh iitsaar meninggalkan perkara sunnah yaitu menutup celah pada shof pertama. Adapun contoh Iitsaar melakukan perkara makruh yaitu bersuci dengan air yang dipanaskan matahari, dan memberikan air yang tidak dipanaskan oleh matahari kepada orang lain

7. Makmum yang mundur dari shof pertama ke shof belakang karena ditarik oleh makmum lain dianjurkan bagi yang ditarik untuk mundur kebelakang untuk membantunya, namun hilang dari dia pahala shof pertama, ini pendapat Imam asy-Syuyuthi

8. Menurut ulama asy-Syafiyyah yang lain dianjurkan bagi yang ditarik untuk mundur ke shof belakang dalam rangka tolong-menolong dalam kebaikan, dan tolong-menolong dalam kebaikan ini akan menggantikan pahala shof pertama yang luput darinya, karena dia tidak keluar dari shof tersebut kecuali karena udzur

9. Pentingnya mempelajari ilmu ushul diantaranya al-qowaid al-fiqhiyyah, agar lebih memudahkan kita dalam beribadah kepada Allah.

Wallahu a'lam. 

***

Gresik : 3 Shofar 1445 H/19 Agustus 2023

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts:

MANFAATKAN 5 PERKARA SEBELUM 5 PERKARA

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallahu 'ala nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.

Sesungguhnya sebaik-baik wasiat adalah wasiat para Nabi 'alaihimussalam karena wasiat mereka dibimbing diatas wahyuBegitu juga Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mewasiatkan kepada kita umatnya dengan 5 perkara penting sebelum datang 5 perkara penting lainnya. Beliau bersabda :

اغتنم خمسا قبل خمس: شبابك قبل هرمك، وصحتك قبل سقمك، وغناك قبل فقرك، وفراغك قبل شغلك، وحياتك قبل موتك

"Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara : (1) Masa mudamu sebelum datang tuamu, (2) masa sehatmu sebelum datang sakitmu, (3) masa kayamu sebelum datang kefakiranmu, (4) waktu luangmu sebelum datang sibukmu, (5) masa hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim no.3846, (hal.341). Cet. Daarul Kutub al-'Ilmiyyah).

Faedah dari hadits diatas :

1. Pentingnya masa muda karena masa muda adalah masa-masa produktif untuk beramal sholeh, untuk menuntut ilmu dan untuk melakukan amal kebaikan lainnya, sedangkan usia tua adalah usia kelemahan dan penuh kepayahan sebagaimana ucapan penyair :

إذا بلغ الفتى ستين عاما. فقد ذهب المسرة والفتاء

"Apabila seorang pemuda sampai pada usia enam puluh tahun. Sungguh telah hilang keceriaan dan dunia mudanya." (Yaa Shoohibas Sittiin, hal.10. Cet. Daarul Qoosim).

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah juga pernah mengatakan :
 
أصبر على مر الجفا من معلم 
فإن رسوب العلم في نفراته 
ومن لم يذق مر التعلم ساعة 
تجرع ذل الجهل طول حياته 
ومن فاته التعليم وقت الشبابه
فكبر عليه اربعا لوفاته
وذات الفتى -والله- بالعلم والتقى

إذا لم يكونا لا اعتبار لذات

"Bersabarlah atas sifat kasar seorang guru, karena gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya. Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sesaat, dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Barangsiapa yang luput mempelajari ilmu dimasa mudanya. Maka bertakbirlah sebanyak empat kali atas kematiannya. Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Bila keduanya tidak ada maka dirinya tidak dianggap". (Diwan Asy-Syaafi'i, hal.59. Maktabah al-Kulliyyaat).

2. Pentingnya masa-masa sehat, karena masa-masa sehat adalah masa-masa terbaik untuk melakukan ketaatan, itulah makna hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

((نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس : الصحة والفراغ))

((Dua nikmat yang banyak manusia tertipu : yaitu nikmat sehat dan waktu luang)). (HR. Al-Bukhari, no.6412, (hal.1232). Cet. Baitul Afkar ad-Dauliyyah).

3. Pentingnya masa-masa kaya sebelum datang kefakiran, karena masa-masa kaya adalah masa-masa terbaik untuk berinfaq, sebab jika datang kematian orang-orang akan rindu untuk berinfaq. Allah Ta'ala berfirman :

«وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَـٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍۢ قَرِيبٍۢ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ»

Artinya : "Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al-Munafiqun : 10).

Allah Ta'ala berfirman :

«يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِمَّا رَزَقْنَـٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ يَوْمٌۭ لَّا بَيْعٌۭ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌۭ وَلَا شَفَـٰعَةٌۭ ۗ وَٱلْكَـٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ»

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqaroh : 254).

Allah Ta'ala berfirman :

«ءَامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَأَنفِقُوا۟ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَأَنفَقُوا۟ لَهُمْ أَجْرٌۭ كَبِيرٌۭ»

Artinya : "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar." (QS. Al-Hadid : 7)

Allah Ta'ala berfirman :

«وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ»

Artinya : "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Baqaroh : 195)

4. Anjuran memanfaatkan waktu luang sebelum datang waktu sibuk. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

((نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس : الصحة والفراغ))

((Dua nikmat yang banyak manusia tertipu : yaitu nikmat sehat dan waktu luang)). (HR. Al-Bukhari, no.6412, (hal.1232). Cet. Baitul Afkar ad-Dauliyyah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu Umar :

وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال : أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنْكبي فقال: كنْ في الدنيا كأنك غريب، أو عابر سبيل. وكان ابن عمر رضي الله عنهما يقول: "إِذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء، وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك"

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda : "Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang musafir." Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma melanjutkan : "Jika engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menunggu hingga pagi hari dan jika engkau berada di pagi hari, maka janganlah engkau menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu dan hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. al-Bukhari, no.6416, (hal.1232). Cet. Baitul afkar ad-Dauliyyah).

5. Pentingnya masa-masa hidup sebelum datang kematian, karena jika telah datang kematian, manusia akan berangan-angan untuk kembali ke dunia untuk beramal sholeh. Allah Ta'ala berfirman :

«حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ٱرْجِعُونِ. لَعَلِّىٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ»

Artinya : "(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan." (QS. Al-Mu'minun : 99-100)

Mengenai tafsir ayat diatas, berkata Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya :

يخبر تعالى عن حال المحتضر عند الموت من الكافرين أو مفرطين في أمر الله تعالى، وقيلهم  عند ذلك وسؤالهم الرجعة إلى الدنيا ليصلح ما كان أفسده في مدة حياته، ولهذا قال : «رَبِّ ٱرْجِعُونِ. لَعَلِّىٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّآ ۚ » كما قال تعالى : «وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَـٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ» -إلى قوله- «وَٱللَّهُ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ» [المنافقون : ١٠-١١] وقال تعالى : «وَأَنذِرِ ٱلنَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ ٱلْعَذَابُ» -إلى قوله- «مَا لَكُم مِّن زَوَالٍۢ» [ابراهيم : ٤٤] وقال تعالى : «يَوْمَ يَأْتِى تَأْوِيلُهُۥ يَقُولُ ٱلَّذِينَ نَسُوهُ مِن قَبْلُ قَدْ جَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِٱلْحَقِّ فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشْفَعُوا۟ لَنَآ أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ ٱلَّذِى كُنَّا نَعْمَلُ» [الأعراف : ٥٣] وقال تعالى : «وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذِ ٱلْمُجْرِمُونَ نَاكِسُوا۟ رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَآ أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَٱرْجِعْنَا نَعْمَلْ صَـٰلِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ» [السجدة : ١٢] وقال تعالى : «وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذْ وُقِفُوا۟ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُوا۟ يَـٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِـَٔايَـٰتِ رَبِّنَا» -إلى قوله- «وَإِنَّهُمْ لَكَـٰذِبُونَ» [الأنعام : ٢٧-٢٨] وقال تعالى : «وَتَرَى ٱلظَّـٰلِمِينَ لَمَّا رَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ يَقُولُونَ هَلْ إِلَىٰ مَرَدٍّۢ مِّن سَبِيلٍۢ» وقال تعالى : «قَالُوا۟ رَبَّنَآ أَمَتَّنَا ٱثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا ٱثْنَتَيْنِ فَٱعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَىٰ خُرُوجٍۢ مِّن سَبِيلٍۢ» [غافر : ١١] والآية بعدها. وقال تعالى : «وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَـٰلِحًا غَيْرَ ٱلَّذِى كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا۟ فَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ» [فاطر : ٣٧].

فذكر تعالى أنهم يسألون الرجعة فلا يجابون عند الاختضار ويوم النشور ووقت العرض على الجبار، وحين يعرضون على النار وهم غمرات عذاب الجحيم.

وقوله ههنا : «كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ » كلا  حرف ردع وزجر، أي لا نجيبه الا ما طلب ولا نقبل منه. وقوله تعالى : «إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ » قال عبد الرحمان بن زيد بن أسلم : أي لا بد أن يقولها لا محالة كل محتضر ظالم، ويحتمل أن يكون ذلك علة لقوله كلا، أي لأنه كلمة أى سؤاله الرجوع ليعمل صالحا هو كلام منه وقوله لا عمل معه، ولو رد لما عمل صالحا ولكان يكذب في مقالته هذه، كما قال تعالى : «وَلَوْ رُدُّوا۟ لَعَادُوا۟ لِمَا نُهُوا۟ عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَـٰذِبُونَ» قال قتادة : والله ما تمنى أن يرجع إلى أهل ولا إلى عشيرة، ولا بأن يجمع الدنيا ويقضي الشهوات، ولكن تمنى أن يرجع فيعمل بطاعة الله عز وجل، فرحم الله امرءا عمل فيما يتمناه الكافر إذا رأى العذاب إلى النار

Allah Ta'ala telah mengabarkan tentang keadaan orang yang naza' (sakarat) ketika menjelang kematian dari  kalangan orang-orang kafir atau orang-orang yang melampaui batas dari perintah Allah Ta'ala, dan dikatakan (sesuatu) kepada mereka ketika menjelang kematian tersebut dan merekapun meminta agar kembali ke dunia untuk memperbaiki apa yang dahulu mereka merusaknya (melalaikannya) sewaktu hidup mereka, karena itu Allah berfirman : «Artinya : Ya Rabbi kembalikanlah aku ke dunia. Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak».

Sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang lain) : «Artinya : Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu. sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu» -Sampai firman Allah- «Artinya : Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan». [Al-Munaafiquun : 10-11].

Dan Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka» Sampai firman Allah : «Artinya : Sekali-kali kamu tidak akan binasa?» [Ibrahiim : 44].

Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya : Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?"» [Al-A'raf : 53]

Dan Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya : Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin». [As-Sajadah : 12]

Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami» Sampai firman Allah : «Artinya : Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka» [Al-An'am : 67-68]

Dan Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya : Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: "Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?» [Asy-Syuaraa : 44]

Allah Ta'ala juga berfirman : «Artinya : Mereka mengatakan : "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?» [Ghaafir : 11]

Dan juga ayat-ayat setelahnya. Allah Ta'ala berfirman : «Artinya : Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun». [Fathir : 37]

Dan Allah Ta'ala telah menyebutkan bahwasannya mereka meminta untuk kembali (ke dunia) namun permintaan mereka tidak dikabulkan ketika menjelang kematian dan ketika kebangkitan dan ketika dihadapkan kepada Al-Jabbar (Allah), serta ketika mereka dihadapkan ke neraka sedangkan mereka dalam tekanan (kepungan) adzab neraka jahannam.

Dan firman Allah disini : «Artinya : Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja», كلا adalah kata penolakan dan penghardikan : yaitu Kami tidak akan memenuhi apa yang dia minta dan tidak pula menerima darinya. Dan Allah Ta'ala berfirman : «Artinya : Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja», berkata "Abdurrahman bin Zaid bin Aslam : yaitu pasti dia akan mengatakan kalimat itu tidak bisa tidak bagi setiap orang yang naza' (sakarat) dari kalangan orang yang dzalim, dan dia berbuat demikian hanya sebagai 'illat saja berdasarkan firman-Nya كلا (sekali-kali tidak), maksudnya itu hanya sebuah kalimat, berupa permintaannya untuk kembali beramal sholeh, dan itu merupakan ucapan darinya dan merupakan ucapan yang tidak disertai amalan. Kalau seandainya dia dikembalikan ke dunia niscaya dia tidak akan melakukan amal sholeh dan sungguh dia telah berdusta dengan ucapan-ucapannya tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala : «Artinya : Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka». Dan berkata Qotadah : Demi Allah dia tidak berangan-angan untuk kembali kepada keluarga dan kaum kerabat, dan tidak pula dia berangan-angan untuk mengumpulkan kekayaan dunia dan memenuhi hawa nafsunya, akan tetapi dia berangan-angan agar bisa kembali (ke dunia) dan melakukan ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla. Mudah-mudahan Allah merahmati seseorang yang mengerjakan apa yang diangan-angankan oleh orang kafir tersebut apabila dia melihat adzab di neraka." (Tafsiir Ibni Katsiir, 3/231. Cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah).

Semoga tulisan ini bermanfaat.

***

Sidayu, Gresik : 17 Muharram 1444 H/4 Agustus 2023

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts:

PERTANYAAN SEPUTAR SAFAR

Pertanyaan :

Assalamualaikum Ustadz, ana sedang safar bekerja di luar kota berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pertanyaannya, batas jamak sholat ana (yakni, batas ana meringkas sholat) sampai kapan barrokallahufiek Ustadz.

Jawaban :

Alhamdulillah wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.

Pertanyaan diatas diajukan di akun Facebook Ma'had Meci Angi oleh salah seorang dari ikhwah kita yang sedang safar.

Dalam masalah batas menjamak atau batas meringkas sholat ketika safar, ada 3 atau 5 pendapat yang bisa kita sebutkan :

1. Batas menjamak atau meringkas sholat 4 hari, setelah itu musafir melakukan sholat secara sempurna.

2. Batas menjamak atau meringkas sholat 15 hari, setelah itu musafir melakukan sholat secara sempurna.

3. Batas menjamak atau meringkas sholat 20 hari, setelah itu musafir melakukan sholat secara sempurna.

4. Batas menjamak atau meringkas sholat 20 hari jika waktunya tidak jelas, setelah itu musafir melakukan sholat secara sempurna. Jika seorang musafir berniat ingin menetap, yang dia lakukan yaitu meringkas sholat 4 hari, setelah itu ia melakukan sholat secara sempurna.

5. Jika seorang musafir tidak berniat muqim (menetap), maka dia menjamak atau meringkas sholat selamanya.

PENJELASAN SINGKAT

1. Jika seorang musafir berniat muqim (menetap), maka batas dia menjamak atau meringkas sholatnya selama 4 hari, setelah itu dia sholat sempurna yakni ; dhuhur 4 rokaat, ashar 4 rokaat dan begitu seterusnya.

Pendapat pertama ini pendapat jumhur ulama ; Maalikiyyah, Syaafi'iyyah, dan Hanaabilah. [Lihat Shohih Fiqh as-Sunnah, 1/483].

2. Jika musafir niat muqim (menetap), batas menjamak atau meringkas sholatnya 15 hari, setelah itu dia sholat sempurna

Ini pendapatnya Imam Abu Haniyfah, Imam ats-Tsauriy, dan al-Muzaniy. Diantara dalinya, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma :

((أقام رسول الله صلى الله عليه و سلم بمكة عام الفتح خمس عشرة يقصر الصلاة)).

"Rasulullah menetap di kota Makkah pada tahun penaklukan Makkah lima belas hari, dan beliau meringkas sholat." [Lihat Shohih Fiqh as-Sunnah, 1/484].

3. Seorang musafir dia meringkas sholatnya selama 20 hari, setelahnya dia sholat sempurna sebagaimana diatas. Dalil dalam hal ini yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Jabir mengatakan:

((أقام النبي صلى الله عليه وسلم بتبوك عشرين ليلة يقصر الصلاة)).

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetap di Tabuk selama dua puluh malam, dan beliau meringkas sholat."

Hadits diatas dikeluarkan juga oleh Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan di shohihkan oleh Ibnu Hazm.  [Lihat Ad-Daraariy al-Mudhiyyah, 110].

4. Pendapat Imam asy-Syaukani :

واذا قام ببلد مترددا قصر إلى عشرين يوما، وإذا عزم على إقامة أربع أتم بعدها، وله تقديما وتأخيرا بأذان و إقامتين.

"Apabila seseorang tiba di suatu negeri yang tidak jelas waktunya (yakni, waktu kepulangan atau belum jelas kapan selesai urusannya), hendaknya dia meringkas sholat selama dua puluh hari, jika dia memutuskan untuk menetap maka ringkas sholat selama empat hari, kemudian sempurnakan setelahnya. Boleh dia menjamak taqdim dan ta'khiir dengan satu adzan dan dua iqomat." [Lihat Ad-Daraariy al-Mudhiyyah, 107].

5. Jika musafir tidak niat muqim, maka dia menjamak atau meringkas sholat selamanya. Ini madzhabnya al-Hasan, Qotadah, Ishaq, dan Ibnu Taimiyyah. Dalilnya beberapa hadits, baik riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang meringkas sholat sembilan belas hari, hadits Jabir yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meringkas sholat selama dua puluh hari, atau hadits 'Imron bin al-Hushoin dimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meringkas sholat selama delapan belas hari. Dan atsar lainnya yaitu perbuatan Ibnu Umar:

فعن ابن عمر أنه: ((أقام بأذربيجان سنة أشهر أرتج عليهم الثلج فكان يصلى ركعتين)).

"Dari Ibnu Umar bahwasanya ia : ((Menetap di Azerbaizan selama enam bulan, dan salju terus-menerus turun kepada mereka. Maka Ibnu Umar sholat dua rokaat)). [Lihat Shohih Fiqh as-Sunnah, 1/485-486].

Jika seseorang safar seorang diri, dan tinggal sangat dekat dengan masjid yang melaksanakan sholat berjamaah, seperti safarnya wali santri yang menjemput anaknya di pesantren, menimbang pahala sholat berjamaah 27 kali lipat, maka sholat berjamaah sangat utama untuk dilakukan.

Pertimbangan lainnya karena sholat berjamaah bersama kaum muslimin akan menguatkan persaudaraan dan menumbuhkan cinta dan kebersamaan. Kecuali jika seseorang safar dengan rombongan yang memungkinkan bagi mereka untuk selalu sholat berjamaah, dan mereka tidak tahu kapan selesai urusannya maka atsar Ibnu Umar juga shohih. Wallahu a'lam.

***

Sidayu, Gresik : 18 Syawwal 1444 H/9 Mei 2023 

Dijawab oleh : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com 

Related Posts: