MAKSIAT SEBAB KEHINAAN

Bismillah, alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.

Maksiat merupakan sebab utama hinanya seorang hamba dihadapan Allah 'Azza wa Jalla. Ibnul Qoyyim pernah membuat satu bab dalam kitabnya Ad-Daa' wad Dawaa' : 

أن المعصية سبب لهوان العبد على ربه، وسقوطه من عينه.

"Sesungguhnya maksiat merupakan sebab hinanya seorang hamba dihadapan Rabb-nya dan rendahnya ia dalam pandangan-Nya."

Kemudian Ibnul Qoyyim menyebutkan perkataan Hasan al-Bashri :

قال الحسن البصري : هانوا عليه فعصوه، ولو عزوا عليه وعصمهم.

Berkata Hasan al-Bashri :  "Mereka telah hina dan durhaka kepada-Nya, seandainya mereka mulia dihadapan-Nya, maka Dia akan menjaga mereka."

Lalu Ibnul Qoyyim mengatakan :

وإذا هان العبد على الله لا يكرمه أحد، كما قال تعالى : «وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ ۩» [الحج : ١٨]. وإن عطمهم الناس في الظاهر لحاجتهم إليهم أو خوفا من شرهم، فهم في قلوبهم أحقر شيئ وأهونه.

ومنها : أن العبد لا يزال يرتكب الذنب، حتى يهون عليه ويصغر في قلبه. وذالك علامة الهلاك، فإن الذنب كلما صغر في عين العبد عظم عند الله.

"Apabila seorang hamba hina disisi Allah, seorang-pun tidak akan memuliakannya, sebagaimana firman Allah (yang artinya) : "Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang akan memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Haj : 18). Seandainya manusia mengagungkannya secara dzohir, itu karena kebutuhan mereka kepadanya atau karena takut akan keburukannya, padahal dalam hatinya mereka sangat menghinakan dan merendahkannya.

Diantaranya : "Bahwa seorang hamba, ia senantiasa melakukan dosa, sampai-sampai ia menggampangkan dan menganggap kecil dosa itu dihatinya. Dan itu merupakan tanda kebinasaan, karena sesungguhnya sebuah dosa setiap kali dianggap kecil dalam pandangan seorang hamba, ia sangat besar disisi Allah."

Kemudian beliau menyebutkan sebuah atsar dari Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari : 

إن المؤمن يرى ذنوبه كأنه في أصل جبل يخاف أن يقع عليه، وإن الفاجر يرى ذنوبه كذباب وقع على أنفه، فقال به هكذا، فطار.

"Sesungguhnya seorang mu'min, ia memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya. Dan seorang yang fajir, ia memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia berkata tentangnya demikian (dia mengibaskan tangannya di atas hidungnya), maka lalat itupun terbang." [Lihat ad-Daa' wad Dawaa', hal. 144. Cet. Daar 'Aalimil Fawaa'id].

Faedah yang bisa diambil :

1. Melakukan maksiat merupakan sebab kehinaan 

2. Orang yang bertakwa akan di jaga oleh Allah

3. Jika seseorang telah Allah hinakan karena sebab dosa dan maksiat, tidak ada seorangpun yang bisa memuliakannya, jika ia dimuliakan, itu karena orang tersebut takut akan keburukannya, sedangkan hatinya tetap menghinakannya

4. Orang yang biasa melakukan dosa dan maksiat, dia akan menggampangkan dan menganggap kecil sebuah dosa meskipun dosa itu besar, sebagaimana pezina, diawal-awal mungkin mereka menganggap besar dosa tersebut, seiring lamanya waktu dia akan menganggap kecil dosa tersebut, karena Allah akan mencabut keimanan dihati mereka

5. Sebuah dosa yang dianggap kecil oleh seorang hamba, bisa jadi dosa itu sangat besar disisi Allah, dan seorang mu'min, ia akan melihat dosa-dosanya seperti sebuah gunung yang besar, yang gunung itu bisa saja jatuh menimpanya 

6. Orang yang fajir, dia akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, tinggal di kibas, lalat itupun terbang meninggalkannya

7. Tidak boleh meremehkan sebuah dosa.

***

Gresik, 28 Jumadal Akhirah 1444 H/21 Januari 2023

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com


Related Posts:

SYAIR ABU THOLIB #2

Bismillah, alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala aalihi wa shahbihi ajma'iin. Wa ba'du.

Pembahasan ini sebagai kelanjutan tulisan sebelumnya berjudul Syair Abu Tholib #1. 

Dari tulisan ini, kita akan mengetahui sekelumit keimanan Abu Tholib terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dakwah yang dibawanya.

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin rahimahullah dalam Syarah hadits al-Arba'in an-Nawawiyyah :

وأبو طالب كان مقرا بنبوة النبي صلى الله عليه وسلم ويعلن بذلك، ويقول : 

لقد علموا أن ابننا لا مكذب

لدينا، ولا يعنى بقول الأباطيل.

ويقول :

ولقد علمت بأن دين محمد 

من خير أديان البرية دينا

لولا الملامة أو حذاري مسبة

لرأيتني سمحا بذلك مبينا.

وهذا إقرار واضح ودفاع عن الرسول صلى الله عليه وسلم ومع ذلك ليس بمؤمن، لفقده القبول والانقياد، فلم يقبل الدعوة ولم ينقد لها فمات على الكفر -والعياذ بالله-.

ومحل الإيمان : القلب واللسان والجوارح، فالإيمان يكون بالقلب، ويكون باللسان، ويكون بالجوارح، أي أن قول اللسان يسمى إيمانا، وعمل الجوارح يسمى إيمانا، والدليل : قول الله عز وجل «وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَـٰنَكُمْ ۚ » [البقرة : ١٤٣] قال المفسرون :  إيمانكم : أي صلاتكم إلى بيت المقدس، وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ((الإيمان بضع وسبعون شعبة، فأعلاها قول لا إله الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإمان)).

أعلاها قول : لا إله الا الله، وهذا قول اللسان.

وأدناها : إماطة الأذى عن الطريق وهذا فعل الجوارح، والحياء عمل القلب. وأما القول بأن الإيمان محلة القلب فقط، وأن من أقر فقد آمن فهذا غلط ولا يصح. 

Abu Tholib, dahulu ia telah mengakui tentang kenabian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ia mengumumkan hal itu dalam syairnya :

"Sungguh kalian telah mengetahui bahwa anak kami (Muhammad) bukan pendusta disisi kami, 

dan tidak dikehendaki (untuknya) perkataan yang batil tersebut."

Abu Tholib juga mengatakan dalam syairnya :

"Dan sungguh aku telah mengetahui bahwasanya agama Muhammad adalah sebaik-baik agama di gurun pasir ini.

Kalaulah bukan karena cacian dan takut cercaan, sungguh kamu akan mendapatiku mudah menerima hal itu dengan nyata."

Ini merupakan ikrar yang sangat jelas dan pembelaan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bersamaan dengan itu dia tidak dikatakan beriman, karena sebab ia tidak menerima dan tunduk, maka tidak diterima pengakuannya dan tidak diganjar (dengan pahala) pengakuan tersebut, bahkan ia justru mati diatas kekafiran -wailyaadzubillah-.

Tempat keimanan itu adalah : Hati, lisan dan anggota badan, dan iman itu bisa terjadi dengan lisan : Maksudnya ucapan lisan ia dinamakan iman, dan amalan anggota badan ia juga dinamakan iman, dalilnya firman Allah 'Azza wa Jalla (artinya) : ((Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian)) [QS. Al-Baqaroh : 143]. Berkata para ahli tafsir : «إِيمَـٰنَكُمْ» "Iman kalian" : Maksudnya yaitu sholat kalian menghadap Baitul Maqdis. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, dan yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah yaitu menyingkirkan gangguan dijalanan, dan rasa malu termasuk cabang dari keimanan)).

Yang paling tinggi dari cabang keimanan yaitu : laa ilaaha illallah, dan ini merupakan ucapan lisan.

Dan yang paling rendah dari cabang keimanan yaitu: menyingkirkan gangguan dijalanan dan ini merupakan perbuatan anggota badan, sedangkan rasa malu merupakan amalan hati. Adapun ucapan bahwa iman adalah ucapan hati saja dan orang yang mengaku demikian telah (dikatakan) telah beriman, maka ucapan ini salah dan tidak benar." [Syarh Al-Arba'iin an-Nawawiyyah, lifadhillati Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimiin, hal. 162. Cet. Daar Tsurayya Linnasyr].

Dari pemaparan Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin diatas, orang yang beriman dengan hatinya saja, ia tidak dikatakan beriman alias dia masih kafir. Jika mereka mati, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam serta tidak boleh mendapatkan doa dari orang-orang yang beriman. Allah Ta'ala berfirman :

«مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَحِيمِ»

Artinya : "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah : 113).

Berkata Ibnu Katsir dalam mentafsirkan ayat diatas :

قال الإمام أحمد : حدثنا عبد الرزاق، حدثنا معمر عن الزهري عن ابن المسيب عن أبيه قال : لما حضرت أبا طالب الوفاة دخل عليه النبي صلى الله عليه وسلم وعنده أبو جهل وعبد الله بن أبي أمية، فقال : ((أي عم، قل لا إله إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله عز وجل)). فقال أبو جهل وعبد الله بن أبي أمية : يا أبا طالب أترغب عن ملة عبد المطلب؟ فقال : أنا على ملة عبد المطلب، فقال النبي صلى الله عليه وسلم ((لأستغفرن لك ما لم أنه أنك)) فنزلت «مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـٰبُ ٱلْجَحِيمِ» قال ونزلت فيه «إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ» [القصص : ٥٦] أخرجاه.

وقال الإمام أحمد : حدثنا يحيى بن آدم، أخبرنا سفيان عن أبي إسحاق عن أبي الخليل عن علي رضي الله عنه قال : سمعت رجلا يستغفر بأبويه وهما مشركا، فقلت أيستغفر الرجل بأبويه وهما مشركان؟ فقال : أولم يستغفر إبراهيم لأبيه؟ فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فنزلت «مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ».

Berkata Imam Ahmad : "Menceritakan kepada kami Abdur Rozzaq, menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az-Zuhriy dari Ibnul Musayyib dari bapaknya, ia berkata : "Tatkala hadir kematian kepada Abu Tholib, masuk kepadanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan disinya ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, maka Nabi bersabda : ((Wahai pamanku, katakanlah laa ilaaha illallah suatu kalimat yang aku akan membela engkau dihadapan Allah 'Azza wa Jalla)). Maka berkata Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah : "Wahai Abu Tholib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muththolib? Maka Abu Tholib berkata : "Aku berada diatas agama Abdul Muththolib, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun bersabda : ((Sungguh benar-benar aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang)) maka diturunkanlah kepada beliau firman Allah (yang artinya) : «Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam». Maka ia berkata  diturunkanlah kepadanya firman Allah (yang artinya) : «Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya». [QS. Al-Qoshosh : 56]. Dikeluarkan oleh keduanya.

Berkata Imam Ahmad : "Menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, mengabarkan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari Abul Khalil dari Ali radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Saya mendengar seorang laki-laki memintakan ampun untuk kedua orang tuanya padahal keduanya musyrik. Maka Aku katakan : "Apakah laki-laki tersebut memintakan ampun untuk kedua orang tuanya padahal keduanya musyrik? [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/221. Cet. Dar Thoyyibah lin-Nasyr wat Tauzii'].

Faedah yang bisa diambil:

1. Pada hakikatnya Abu Tholib adalah orang yang beriman tentang kerasulan keponakannya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam

2. Imannya Abu Tholib saat hanya sebatas keyakinan dalam hatinya saja, dia tidak mengikrarkan dengan lisannya. Maka orang yang seperti ini tetap dihukumi kafir meskipun hatinya beriman

3. Diantara hal-hal yang menyebabkan Abu Tholib enggan mengucapkan dua kalimat syahadat adalah, karena kedudukannya sebagai pemimpin kaum quraisy. Dia malu dan takut akan dicela oleh kaumnya 

4. Orang yang beriman,  hendaknya mengikrarkan imannya dengan hati dan lisannya serta mengamalkannya dengan anggota badan, karena iman itu ucapan hati dan lisan serta amalan hati dan anggota badan, bukan sekedar ucapan hati semata.

5. Berteman dengan teman yang buruk bisa menyebabkan su'ul khotimah, sebagaimana Abu Tholib berteman dengan dua gembong kafir Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menjadi salah satu sebab ia mati diatas kekafiran.

6. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah kepada Abu Tholib, Abu Jahal dan temannya juga berdakwah. Ini menunjukkan bahwa dakwah syaithon itu ada dan nyata, yaitu mengajak kepada kesyirikan dan kekufuran sebagaimana dakwah Abu Jahal laknatullah.

7. Hidayah itu ditangan Allah, meskipun Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam sudah berusaha mengislamkan pamannya, ketetapan Allah telah berlaku bahwa Abu Tholib akan mati kafir.

8. Tidak boleh mendoakan ampunan untuk orang kafir yang telah meninggal dunia meskipun ia orang terdekat kita, namun jika mendoakan agar mendapatkan hidayah ketika masih hidup ini diperbolehkan.

9. Bahayanya dosa syirik.

Dan masih banyak faedah lainnya.

***

Gresik : 10 Rabiul Akhir 1444 H/3 Januari 2023

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com

Related Posts: