QOIDAH-QOIDAH PENTING DALAM NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH #2


Setelah kita membahas qoidah pertama yaitu wajibnya menetapkan nash-nash al-Qur'an dan sunnah didalam nama-nama dan sifat-sifat Allah secara dzohir tanpa menyelewengkan makna tersebut, maka pada kesempatan kali ini kita akan masuk pada qoidah ke dua, yang berkaitan dengan nama-nama Allah Ta'ala.

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al'Utsaimin rahimahullah :

:القاعدة الثانية

:في أسماء الله

:وتحت هذه القائدة فروع

:الفرع الأول : أسماء الله كلها حسنى
«اي: بالغة في الحسن غايته؛ لأنها متضمنة لصفات كاملة لا نقص فيها بوجه من الوجوه، قال الله تعالى : «وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ
[الأعراف : ١٨٠]

مثال ذلك : الرحمان فهو اسم من أسماء الله تعالى، دال على صفة عظيمة هى الرحمة الواسعة.

ومن ثم نعرف أنه ليس من أسماء الله : الدهر ؛ لأنه لا يتضمن معنى يبلغ غاية الحسن، فأما قوله صلى الله عليه وسلم : ((لا تثبّ الدهر فإن الله هو الدهر)). فمعناه : مالك الدهر المتصرف فيه بدليل قوله في الرواية الثانية عن الله تعالى : ((بيدي الأمر اقلب
((الليل والنهار

QOIDAH YANG KEDUA :

Dalam nama-nama Allah :

Dan dibawah qoidah ini ada beberapa pencabangan :

CABANG PERTAMA : Nama Allah seluruhnya baik : yaitu : berada dipuncaknya kebaikan ; karena nama-nama tersebut mengandung sifat yang sempurna tidak ada kekurangan didalamnya dari sisi manapun, Allah Ta'ala berfirman : «"Milik Allah nama-nama yang baik"» [Al-A'raf : 180]

Contoh : «الرحمن» adalah nama dari nama-nama Allah Ta'ala, yang menunjukkan atas sifat yang agung yaitu rahmat yang luas.

Dari sana kitapun mengetahui bahwa bukan termasuk nama Allah «الدهر» masa ; karena dia tidak mengandung makna yang sampai pada puncak kebaikan adapun ucapan Nabi shallallahu 'alaikum wa sallam (("Janganlah kalian mencaci maki masa  (atau waktu), karena sesungguhnya Allah adalah masa")). Maknanya yaitu (Allah) yang menguasai masa (waktu) dan membolak-balikkannya berdasarkan dalil ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam riwayat yang lain tentang Allah Ta'ala : (("Ditangan-Ku segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang")).

الفرع الثاني : السماء الله غير محصورة بعدد معين : لقوله صلى الله عليه وسلم في الحديث المشهور : ((أسألك اللهم بكل اسم
((هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أ أو استأثرت به في علم الغيب عندك

وما استأثر الله به في علم الغيب عنده لا يمكن حره ولا الإحاطة به

((والجمع بين هذا وبين قوله في الحديث الصحيح : ((إن الله تسعة وتسعين اسما من أحصاها دخل الجنة

إن معنى هذا الحديث : إن من أسماء الله تسعة وتسعين اسما من أحصاها دخل الجنة، وليس المراد : حصر أسمائه تعالى بهذا العدد، ونظير هذا : أن تقول : عندى مائة درهم أعددتها للصدقة، فلا ينافي أن يكون عندك دراهم أجرى أعدتها لغير الصدقة.

CABANG YANG KEDUA : Nama-nama Allah Allah tidak dibatasi dengan jumlah tertentu : berdasarkan ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang masyhur : ((Saya meminta kepada-Mu ya Allah dengan seluruh nama yang telah Engkau namakan diri-Mu dengannya atau Engkau turunkan nama tersebut dalam kitab-Mu atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau Engkau sembunyikan nama tersebut di ilmu ghaib disisi-Mu))

Apa saja yang Allah sembunyikan dari nama tersebut di ilmu ghaib disisi-Nya tidak mungkin (kita mampu) menghitungnya serta membatasi nama tersebut.

Penggabungan antara hadits diatas dengan hadits Nabi dalam hadits shohih  ((Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang menghitungnya dia pasti masuk surga)), Makna hadits ini : Bahwasanya diantara nama-nama Allah itu ada sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang menghitungnya dia pasti masuk surga, maksudnya bukan ingin membatasi nama-nama Allah Ta'ala dengan jumlah tertentu, permisalan ini seperti engkau mengatakan : Aku memiliki (uang) seratus dirham yang aku persiapkan untuk disedekahkan, hal tersebut tidak menafikan bahwa aku memiliki (uang) dirham yang lain yang aku persiapkan untuk selain sedekah (tidak disedekahkan).

الفرع الثالث : أسماء الله لا تثبت بالعقل وإنما تثبت بالشرع : فهي توقفية يتوقف إثباتها على ما جاء عن الشرع فلا يزاد فيها ولا ينقص؛ لأن العقل لا يمكنه إدراك ما يستحقه تعالى من الأسماء، فوجب الوقوف في ذلك على الشرع؛ ولأن تسميته بما لم بسم به نفسه جناية في حقه تعالى فوجب سلوك الأدب في ذلك

CABANG YANG KETIGA : Nama-nama Allah tidak ditetapkan berdasarkan aqal tapi nama-nama tersebut hanya ditetapkan berdasarkan syariat : nama-nama tersebut adalah tauqifiyyah (menunggu dalil) yang berhenti penetapannya pada apa-apa yang datang dari syariat maka tidak boleh menambah nama tersebut dan tidak boleh pula menguranginya; karena sesungguhnya aqal tidak mungkin mengetahui apa-apa yang pantas bagi Allah Ta'ala dari nama-nama-Nya, karena itu wajib dalam hal ini berhenti (dalam menetapkan nama tersebut) berdasarkan syariat; karena sesungguhnya menamakan Allah dengan apa-apa yang Dia tidak menamakan diri-Nya dengannya atau mengingkari apa saja yang Dia namakan diri-Nya dengannya merupakan perbuatan dosa terhadap hak Allah Ta'ala, (karena itu) maka wajib memiliki adab dalam permasalahan tersebut.

الفرع الرابع : كل اسم من اسماء الله فإنه يدل على ذات الله، وعلى الصفة التي تضمنها، وعلى الأثر المترتب عليه إن كان متعديا
 .ولا يتم الإيمان بالاسم الا بإثبات ذلك كله

مثال ذلك في غير المتعدي : ((العظيم)) فلا يتم الإيمان به حتى نؤمن بإثباته اسما من أسماء الله دالا على ذاته تعالى وعلى ما
 .تضمنه من الصفة : وهي العظمة

ومثال ذلك في المتعدي : ((الرحمن)) فلا يتم الإيمان به حتى تؤمن بإثباته اسما من أسماء الله دالا على ذاته تعالى وعلى ما تضمنه من الصفة : وهي الرحمة، وعلى ما ترتب عليه من أثر : وهو إنه يرحم من يشاء


CABANG KE EMPAT : Semua nama dari nama-nama Allah sesungguhnya nama tersebut menunjukkan atas Dzat Allah, dan juga menunjukkan atas sifat yang terkandung didalamnya, dan menunjukkan pengaruh yang terkandung padanya apabila nama tersebut muta'adi (butuh objek), dan tidak akan sempurna beriman dengan nama tersebut kecuali dengan menetapkan nama-nama tersebut seluruhnya. 

Contoh nama yang bukan muta'adi (yang tidak butuh objek) : yaitu ((Yang Maha Agung)) maka tidak sempurna beriman dengannya sampai beriman dengan menetapkan nama dari nama-nama Allah yang menunjukkan atas dzat-Nya Ta'ala dan atas apa-apa yang dikandung oleh nama tersebut dari sifat : yaitu keagungan.

Dan contoh nama yang muta'adi (butuh objek) : yaitu ((Yang Maha Penyayang) maka tidak sempurna beriman dengannya sampai beriman dengan menetapkan nama dari nama-nama Allah yang menunjukkan atas dzat-Nya Ta'ala dan atas apa-apa yang dikandung oleh nama tersebut berpa sifat : yaitu sifat rahmat dan atas apa-apa yang diakibatkan oleh nama tersebut berupa pengaruh : Bahwasanya Dia merahmati siapa saja yang Dia kehendaki.
[Syarhu Lum'atil I'tiqod, Al-Haadi ila Sabiilir Rosyaad, lil Imaami Mufaffiqid Diin Ibni Qudaamah Al-Maqdisi, ta'lif Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimiin, hal.8-10]


Ringkasan qoidah kedua ini :

1. Qoidah kedua ini membahas tentang nama-nama Allah, berbeda dengan qoidah pertama yang membahas tentang wajibnya memahami nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah secara dhohir tidak di palingkan ke makna lainnya kecuali dengan dalil yang shohih.

2. Dalam memahami nama-nama Allah, ada empat cabang atau empat poin yang harus difahami dan pegang erat-erat :

-Cabang pertama : Nama-nama Allah semuanya baik bahkan berada di puncak kebaikan. Dalilnya firman Allah Ta'ala  :

«وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ»

Artinya : "Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama nama yang baik)". (QS. Al-A'raf : 180)

Dan pada cabang pertama ini bisa disimpulkan beberapa poin penting :

a. Seluruh nama Allah pasti mengandung sifat, seperti nama Allah «الرحمن», mengandung keagungan sifat yaitu sifat rahmat yang maha luas yang rahmat tersebut meliputi seluruh alam semesta baik muslim atau kafir.

b. Tidak boleh menetapkan nama yang tidak Allah tetapkan untuk diri Nya termasuk disini adalah «الدهر» (masa), karena Ad-Dahru atau masa bukan nama Allah karena nama tersebut tidak mengandung makna yang menunjukan pada puncak kebaikan, akan tetapi maknanya adalah Allah yang menguasai masa dan Allah pula yang  Maha membolak-balikkan masa.

-Cabang kedua : Nama-nama Allah tidak dibatasi dengan jumlah tertentu

Ada beberapa poin penting dalam masalah ini :

a. Nama-nama Allah tidak boleh dibatasi dengan jumlah tertentu, baik membatasi hanya 20 nama saja atau membatasi hanya dengan jumlah 99 nama saja.

b. Orang-orang yang membatasi nama Allah hanya sembilan puluh sembilan nama saja berdalih dengan hadits «Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang menghitungnya maka dia pasti masuk surga», pada hadits ini tidak ada makna pembatasan, karena jika seseorang mengatakan, "saya memiliki uang seratus ribu, barangsiapa yang mendapatkannya dia akan beruntung".

Artinya, bukan berarti orang tersebut hanya memiliki uang seratus ribu saja, bisa jadi dia menyembunyikan uang miliyaran rupiah yang tidak ingin dia sedekahkan tapi dia simpan di brankasnya untuk keperluan nya, karena kalimat diatas tidak ada pembatasan sama sekali. Demikian juga dengan nama-nama Allah, sebagaimana dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda : «Saya meminta kepadamu ya Allah yang telah Engkau namakan dirimu dengannya atau Engkau turunkan nama tersebut dalam kitab-Nya atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu atau Engkau sembunyikan nama tersebut di ilmu ghaib di sisi-Mu», pada hadits ini dengan jelas ada isyarat bahwa nama Allah tak terbatas dengan jumlah tertentu, yaitu pada kalimat Rasulullah, atau Engkau sembunyikan nama tersebut di ilmu ghaib di sisi-Mu, dan kita tidak akan mungkin mengetahui apa yang Allah sembunyikan untuk diri-Nya dari nama-nama tersebut, maka cukup kita imani saja.

c. Menghafal nama-nama Allah dan mengamalkannya akan menyebabkan seseorang masuk surga. Bukan sekedar menghafal dan melafadzkan saja sebagaimana orang-orang yang melafadzkannya ribuan kali, tapi diimani setiap nama tersebut, tanpa membatasi dan mengurangi serta menetapkan nama tersebut menunjukkan Dzat dan mengandung sifat.

-Cabang Ketiga : Nama-nama Allah tidak ditetapkan berdasarkan akal, tapi ditetapkan berdasarkan syariat.


Pada cabang ketiga ini ada beberapa poin penting :

a. Nama-nama Allah itu harus tauqifiyyah (menunggu dalil), jika tidak ada dalil shohih dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menetapkan itu sebagai nama Allah maka kita wajib berhenti, diam, jangan menambah atau mengurangi nama-nama tersebut.

b. Menamakan Allah dengan nama yang tidak Dia namakan dirinya dengan-Nya atau mengingkari apa saja dari nama-nama yang Allah telah tetapkan itu untuk dirinya, ini merupakan perbuatan dosa terhadap hak Allah, dan wajib memiliki adab terhadap Allah Ta'ala.

-Cabang Keempat : Setiap Nama dari nama-nama, maka nama-nama menunjukkan atas Dzat Allah dan sifat  Nya.

Pada cabang keempat ini ada beberapa poin penting :

a. Tidak sempurna keimanan seseorang jika dia tidak menetapkan bahwa setiap nama Allah menunjukkan atas Dzat Allah, dan setiap nama Allah pasti mengandung sifat.

b. Jika ada yang mengatakan bahwa nama Allah tidak menunjukkan atas Dzat Allah atau tidak mengandung sifat, maka keimanan orang tersebut cacat.

c. Nama Allah ada yang tidak butuh objek seperti «العظيم» Yang Maha Agung.  Nama ini menunjukkan keagungan Dzat Allah dan keagungan sifat yang terkandung didalamnya berupa Keagungan. Nama ini tidak butuh objek yang diagungi. Tidak sempurna keimanan seseorang tanpa menetapkan bahwa dalam nama Allah mengandung keagungan Dzat-Nya dan sifat-Nya.

d. Nama Allah itu ada yang membutuhkan objek seperti : «الرحمان» Yang Maha Pemurah. Tidak sempurna keimanan seseorang tanpa menetapkan bahwa nama tersebut menunjukan atas Dzat-Nya dan menunjukkan atas sifat-Nya yaitu sifat Rahmah dan sifat ini akan membutuhkan objek yang harus dirahmati, yaitu : Allah merahmati siapa saja yang Dia kehendaki.

Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.

***

Dompu - Nusa Tenggara Barat, 12 Ramadhan 1440 H/17 Mei 2019

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy 

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com 





Related Posts:

QOIDAH-QOIDAH PENTING DALAM NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH #1

Banyak orang yang tergelincir dalam kesalahan dan rusaknya aqidah akibat syubhat dan kejahilan. Diantaranya yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla.

Pembahasan tentang nama dan sifat Allah merupakan pembahasan yang sangat agung dan sangat penting, karena itu sebelum kita masuk dalam pembahasan tentang nama dan sifat Allah nanti, maka perlu bagi kita semua untuk mengetahui beberapa qoidah penting dalam nama dan sifat-sifat Allah, diantaranya sebagaimana yang di sebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin dalam syarah Lum'atul I'tiqod. Ada empat qoidah yang disebutkan oleh beliau rahimahullah dan insyaAllah akan kita bahas satu persatu. Untuk kali ini kita akan membahas qoidah yang pertama.

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah :

:وقبل دخول في صميم الكتاب أحب أن أقدم قواعد هامة فيما يتعلق بأسماء الله وصفاته

Sebelum masuk pada inti kitab, saya menyukai agar saya mendahului dengan qoidah-qoidah penting yang berkaitan dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya :

:القاعدة الأولى 

:في الواجب نحو نصوص الكتاب والسنة في أسماء الله وصفاته

الواجب في نصوص الكتاب وسنة : إبقاء دلالتها على ظاهرها من غير تغيير ؛ لأن الله أنزل القرآن بلسان عربي مبين والنبي صلى الله عليه وسلم يتكلم باللسان العربي، فوجب إبقاء دلالة كلام الله وكلام رسوله على ما هي عليه في ذلك اللسان؛ ولأن تغييرها عن
:ظاهرها قول على الله بلا علم وهو حرام لقوله تعالى

QOIDAH YANG PERTAMA

Wajib mengarahkan  nash-nash al-Qur'an dan sunnah dalam nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya :

"Yang wajib dalam (memahami) nash-nash al-Qur'an dan sunnah : yaitu menetapkan maksud ucapan tersebut secara dzohir tanpa merubahnya ; karena Allah telah menurunkan al-Qur'an dalam bahasa arab yang jelas (gamblang) dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berbicara dengan bahasa arab, maka wajib menetapkan maksud ucapan Allah dan ucapan Rasul-Nya secara hakikat menurut bahasa arab ; karena merubah ucapan tersebut dari dzohirnya merupakan berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan itu hukumnya harom berdasarkan firman Allah Ta'ala :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟عَلَى»
[ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ» [الأعراف : ٣٣

Artinya : "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". [Al-A'raf : 33]

مثال ذلك قوله تعالى : «بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ» [المائدة : ٦٤

Contohnya yaitu firman Allah Ta'ala :

Artinya : "(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki". [Al-Maidah : 64]

فإن ظاهر الآية : أن الله يدين حقيقتين فيجب إثبات ذلك له

Maka dzohir ayat ini : bahwasanya Allah memiliki dua tangan secara hakiki, maka wajib menetapkan hal itu bagi Allah.

فإذا قال قائل : المراد بهما : القوة

قلنا له : هذا صرف للكلام عن ظاهره فلا يجوز القول به؛ لإنه قول على الله بلا علم

Apabila berkata orang yang berkata : yang dimaksud dengan kedua tangan adalah : kekuatan.

Kami katakan kepadanya : "ini adalah memalingkan ucapan dari dzhohirnya, maka tidak boleh berbicara dengan ucapan tersebut ;  karena sesungguhnya itu merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu."

[Lum'atul I'tiqood al-Haadiy ila sabiilir Rasyad, Syarah Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, hal.8]


Ringkasan penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin terkait dengan qoidah yang pertama diatas sebagai berikut :

1. Qoidah yang pertama ini secara khusus berbicara atau membahas tentang nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah, yang nash-nash tersebut harus difahami secara dzohir, tidak boleh di rubah maknanya, atau di palingkan, atau diselewengkan dari dzohirnya. Contoh : Allah memiliki dua tangan, kita tidak boleh mentakwil, memalingkan, merubah makna nash tangan dengan kekuatan atau ke makna yang lain yang tidak sesuai dengan dzohirnya, karena nash-nash yang datang dalam al-Qur'an dan sunnah wajib dimaknai secara dzohir kecuali ada dalil yang memalingkan makna tersebut ke makna lain, sebagaimana qoidah mengatakan : 

الأصل في الكلام الحقيقة فلا يعدل عنها الا بدليل صحيح يمنع منها

"Hukum asal sebuah ucapan adalah hakikatnya, maka tidak boleh merubah ucapan tersebut (ke makna lain) kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi dari hakikatnya".

2. Merubah atau menolak atau memisalkan atau memalingkan makna ayat dari dzohirnya termasuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan perkara yang diharamkan.

3. Memahami Al-Qur'an dan Sunnah dengan ilmu bahasa arab itu wajib, karena tidak bisa kita memahami Al-Qur'an dan Sunnah tanpa bahasa arab. Sebuah qoidah mengatakan :

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

"Apa-apa yang tidak akan sempurna suatu perkara yang wajib kecuali dengannya maka dia itu wajib".

Qoidah ini umum, bisa masuk juga dalam hal ini. Karena itu, tidak akan sempurna seseorang memahami Al-Qur'an dan Sunnah tanpa bahasa arab, maka mempelajari bahasa arab hukumnya menjadi wajib, karena dia satu-satunya washilah (perantara/jembatan) untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Jikapun kita sudah menguasai bahasa arab, maka mari kita tundukkan akal kita pada nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah sesuai pemahaman salaf.

Semoga bermanfaat.

***

Dompu - Nusa Tenggara Barat, 11 Ramadhan 1440 H/16 Mei 2019

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy 

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com 

Related Posts:

ALLAH MEMILIKI SIFAT MARAH (MURKA)

Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin. Wassholaatu was salaamu 'ala Nabiyyina Muhammadin shallallahu 'alaihi wa sallam. Wa ba'du.

Setiap manusia memiliki sifat marah, dan sifat marah adalah sifat yang telah Allah ciptakan ada pada diri kita semua. Namun demikian, Allah 'Azza wa Jalla dengan keagungan dan kebesaran-Nya-pun memiliki sifat marah (murka), dan sifat ini merupakan sifat yang tetap bagi Allah berdasarkan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta kesepakatan salaf. 

Sifat marahnya Allah tentunya tidak sama seperti marahnya makhluk, marahnya makhluk yang tampak secara dhohir, naiknya darah menuju otak, muka memerah, keluar kata-kata kotor, bahkan tidak jarang sampai melakukan hal-hal yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Ini kesan pertama yang dapat kita simpulkan dari diri orang yang marah, namun ketika sifat marah itu dinisbatkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, maka kita harus yakini bahwa marahnya Allah tidak sama dengan marahnya makhluk. Allah Ta'ala berfirman :

 «لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ»

Artinya : "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS.Asy-Syura : 11)

Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah :

وقوله في الكفار : ((وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ)) [الفتح : ٦

Firman Allah kepada orang kafir : ((Artinya : Dan Allah murka kepada mereka)) [QS. Al-Fath : 6]

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah :

.الغضب من صفات الله الثابتة له بالكتاب والسنة
.وإجماع السلف

قال الله تعالى فيمن قتل مؤمنا متعمدا : «وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْه وَلَعَنَهُ» [النساء : ٩٣

.وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ((إن الله كتب كتابا عنده فوق العرش : إن رحمتى تغلب غضبي)). متفق عليه

وأجمع السلف على ثبوت الغضب لله ؛ فيجب إثباته من غير تحريف ولا تعطيل. ولا تكييف ولا تمثيل، وهو غضب حقيقي يليق بالله

وفسر أهل التعطيل بالانتقام، ونرد عليهم بما سبق في القاعدة الرابعة، وبوجه رابع : أن الله تعلى غاير بين الغضب والانتقام ؛ فقال تعالى : «فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا» [الزخروف : ٥٥]. أي أغضبونا «ٱنتَقَمْنَا مِنْهُم» [الزخروف : ٥٥]. فجعل الانتقام نتيجة للغضب فدل على أنه غيره

[لمعة الإعتقاد الهادي إلى سبيل الرشاد، ص : ٢٩. دار الاثار]

"Marah (murka) termasuk sifat Allah yang tetap bagi-Nya berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' salaf.

Allah Ta'ala berfirman kepada orang yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja : «Dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya» [An-Nisaa' : 93].

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ((Sesungguhnya Allah telah menulis sebuah kitab disisi-Nya diatas 'Arsy : Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku)). Disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Dan para salaf-pun telah bersepakat atas tetapnya sifat marah (murka) bagi Allah ; maka wajib menetapkan sifat tersebut tanpa memalingkan (maknanya), tanpa menolak, serta tanpa membagaimanakan dan tanpa mempermisalkan (sifat tersebut dengan sifat makhluk), hal itu merupakan kemarahan yang hakiki yang pantas bagi Allah.

Dan ahlut ta'thil (orang-orang yang menolak sifat Allah) mentafsirkan (sifat marah) dengan hukuman, dan kami bantah mereka dengan apa-apa yang telah berlalu dari qoidah yang ke empat, dan pada sisi yang ke empat : Bahwasanya Allah Ta'ala membedakan antara marah  (murka) dengan menghukum ; Allah Ta'ala berfirman «Maka tatkala mereka membuat Kami murka» Yaitu ; menimbulkan kemarahan (kemurkaan) Kami, «Kami menghukum mereka» [Az-Zukhruf : 55] maka menghukum itu merupakan hasil dari kemarahan maka hal itu telah menunjukkan bahwa menghukum tidak termasuk kemarahan." [Lum'atul I'tiqaad Al-Haadiy ila Sabiilir Rasyaad, hal : 29. Cetakan. Daaru Atsaar]

Beberapa faedah yang bisa di ambil :

1. Allah memiliki sifat marah

2. Sifat marahnya Allah adalah sifat marah yang hakiki sebagaimana ditetapkan hal itu berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma salaf

3. Marahnya Allah tidak sama seperti marahnya makhluk, sebagaimana qoidah :

 «لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ»

Artinya : "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat". (QS.Asy-Syura : 11)

4. Wajib menetapkan sifat marah bagi Allah tanpa ta'thil (menolak), tanpa tahrif (memalingkan maknanya), tanpa takyif (membagaimanakan) dan tanpa tamtsil (mempermisalkan)

5. Allah marah kepada seseorang yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja bahkan Allah melaknatnya dan menyediakan baginya adzab. Allah Ta'ala berfirman :

«وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًۭا مُّتَعَمِّدًۭا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَـٰلِدًۭا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًۭا»

Artinya : "Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (QS.An-Nisaa' : 93)

6. Haramnya membunuh jiwa tanpa hak

7. Marah tidak sama dengan menghukum. Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

«فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَـٰهُمْ أَجْمَعِينَ»

Artinya : "Maka tatkala mereka membuat Kami murka (marah), Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). (QS.Az-Zukhruf : 55)

8. Mentakwil kata marah dengan menghukum telah merubah makna ayat dari dzhohirnya

9. Allah marah dan murka kepada orang-orang kafir

10. Rahmat Allah mendahului kemarahan-Nya

11. Kitab yang bertulis (Lauhul Mahfudz) ada di sisi Allah di atas 'Arsy

12. Orang yang mentakwil sifat Allah dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu

13. Sesatnya pemahaman Ahlut Ta'thiil

***
Dompu, 27 Sya'ban 1440 H/3 Mei 2019

Penulis : Abu Dawud ad-Dombuwiyy 

Artikel : Meciangi-d.blogspot.com 

Related Posts: